Kamis, 13 Juni 2013

DAMPAK PAKAIAN KETAT TERHADAP KESEHATAN

Latar Belakang Pakaian merupakan kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat berteduh/tempat tinggal (rumah).Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan menutup dirinya. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian tergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya yang memiliki ciri khas masing-masing. Pakaian juga meningkatkan keamanan selama kegiatan berbahaya seperti hiking dan memasak, dengan memberikan penghalang antara kulit dan lingkungan. Pakaian juga memberikan penghalang higienis, menjaga toksin dari badan dan membatasi penularan kuman. Salah satu tujuan utama dari pakaian adalah untuk menjaga pemakainya merasa nyaman. Dalam iklim panas busana menyediakan perlindungan dari terbakar sinar matahari atau berbagai dampak lainnya, sedangkan di iklim dingin sifat insulasi termal umumnya lebih penting. Pakaian melindungi bagian tubuh yang tidak terlihat. Pakaian bertindak sebagai perlindungan dari unsur-unsur yang merusak, termasuk hujan, salju dan angin atau kondisi cuaca lainnya, serta dari matahari. Pakaian juga mengurangi tingkat risiko selama kegiatan, seperti bekerja atau olahraga. Pakaian kadang-kadang dipakai sebagai perlindungan dari bahaya lingkungan tertentu, seperti serangga, bahan kimiaberbahaya, senjata, dan kontak dengan zat abrasif. Sebaliknya, pakaian dapat melindungi lingkungan dari pemakai pakaian, seperti memakai masker. Banyak kalangan remaja yang lebih memilih menggunakan celana ketat dari pada celana yang lebih longgar, hal ini disebabkan karena penggunaannya yang sangat praktis, cocok untuk berbagai macam atasan. Apa dampak pakaian ketat bagi kesehatan?, bagaimana cara pencegahan atau mengurangi penggunaan pakaian ketat ?. Kiranya dapat mencegah atau mengurangi penggunaan pakain ketat, dan pembaca dapat mengetahui dampak buruk pakaian ketat bagi kesehatan dan cara mencegahnya. Dampak Pakaian Ketat Bagi Kesehetan Manusia 1. Paresthesia Celana ketat sepinggul berpeluang menimbulkan penyakit paresthesia. Istilah paresthesia sendiri, menurut Kamus Kedokteran Dorland, berarti perasaan sakit atau abnormal seperti kesemutan, rasa panas seperti terbakar dan sejenisnya. Gangguan saraf ringan itu terjadi karena mereka suka sekali memakai celana ketat sebatas pinggul, setidaknya dalam enam bulan terakhir. Paresthesia dikenali gejalanya berupa kesemutan yang lama-kelamaan berubah menjadi mati rasa. Kesemutan terjadi lantaran terganggunya saraf tepi, yakni saraf yang berada di luar jaringan otak di sekujur tubuh. Umumnya karena tertekan, infeksi, maupun gangguan metabolisme. 2. Ancaman Jamur Pada dasarnya semua jenis pakaian ketat berpotensi menimbulkan tiga macam gangguan kulit baik itu sebatas pinggul maupun di atas pinggul. Hal itu disebabkan masalah kelembaban yang memungkinkan jamur subur berkembang biak. Belakangan ini, pasien korban jamur yang berobat ke Klinik Kulit dan Kelamin RSCM meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2002, sekitar 35% pasien terbukti kena serangan jamur. Usia mereka berkisar 15 – 45 tahun. Meski tak semuanya berhubungan dengan kebiasaan berbusana, tetapi kecenderungan meningkatnya jamur sebagai sumber penyakit kulit mesti diwaspadai. Idealnya, di negara tropis seperti Indonesia, pakaian ketat atau terlalu tebal memang harusdihindari. Kulit menjadi kekurangan ruang untuk “bernapas”, sementara cairan yang keluar dari dari tubuh cukup banyak. Akibatnya, permukaan kulit menjadi lembab. Jika tak diimbangi busana yang tepat, jamur akan lebih mudah beranak pinak. Jenis jamur yang banyak ditemui adalah jamur panu (bercak putih, cokelat, atau kemerahan), jamur kurap dengan bintik menonjol gatal, serta jamur kandida yang basah dan gatal. 3. Berbekas Hitam Sesuai namanya, gejala gatal dan beruntusan yang menjadi trade mark sang dermatitis hanya muncul bila terjadi gesekan antara kulit dengan benda dari luar tubuh. Benda asing yang berpotensi gesek tinggi tidak hanya benda keras, semisal: perhiasan, jam tangan, atau ikat pinggang. Busana sehari-hari, jika terlalu ketat menempel di tubuh, atau terbuat dan bahan berkontur kasar juga dapat memicu luka. “Celana ketat” terutama berpengaruh pada kondisi kulit di sela-sela paha. Awalnya mungkin cuma radang ringan. Tapi, kalau prosesnya berlangsung lama, bisa menimbulkan bercak hitam di pangkal paha,” kata Kusmarinah Bramono”. Jika si pemilik tubuh insaf dan menjauhkan diri dari busana ketat, warna hitam tadi mungkin saja berkurang atau hilang sama sekali. Namun, Kusmarinah mengingatkan, proses menghilangkan noda hitam itu tak bisa dilakukan secepat membalik telapak tangan. Jenis penyakit kulit lain yang biasa menghinggapi pemakai celana ketat adalah biduran atau kaligata. Bentuknya bentol-bentol mirip bekas gigitan ulat bulu. Tingkat keparahannya mulai bentol sebesar biji jagung hingga bibir bengkak. Biduran bisa muncul di bagian tubuh mana pun. Berdasarkan pengamatan Kusmarinah, banyak pasien tidak menyadari, biduran dapat juga disebabkan oleh tekanan serta ketatnya pakaian. 4. Kanker Ganas Melanoma Penelitian ilmiah kontemporer telah menemukan bahwasanya perempuan berpakaian tetapi ketat atau transparan, maka ia berpotensi mengalami berbagai penyakit kanker ganas melanoma di sekujur anggota tubuhnya yang terbuka. Majalah kedokteran Inggris melansir hasil penelitian ilmiah ini dengan mengutip beberapa fakta, diantaranya bahwasanya kanker ganas melanoma yang masih berusia dini akan semakin bertambah dan menyebar sampai ke kaki. Penyakit ini disebabkan sengatan matahari yang mengandung ultraviolet dalam waktu yang panjang di sekujur tubuh yang berpakaian ketat atau berpakaian pantai (yang biasa dipakai wanita ketika di pantai dan berjemur di sana). Penyakit ini mengenai seluruh tubuh dengan kadar yang berbeda-beda. Tanda-tanda penyakit ini muncul pertama kali adalah seperti bulatan berwarna hitam agak lebar. Terkadang berupa bulatan kecil saja, kebanyakan di daerah kaki atau betis, dan biasanya di daerah sekitar mata, kemudian menyebar ke seluruh bagian tubuh disertai pertumbuhan di daerah-daerah yang biasa terlihat, pertautan limpa (daerah di atas paha), dan menyerang darah, lalu menetap di hati serta merusaknya. Terkadang juga menetap di sekujur tubuh, diantaranya: tulang, dan bagian dalam dada. Juga bagian perut karena adanya dua ginjal yang menyebabkan air kencing berwarna hitam karena rusaknya ginjal akibat serangan penyakit kanker ganas ini. Penyakit ini juga menyerang janin di dalam rahim ibu yang sedang mengandung. Orang yang menderita kanker ganas ini tidak akan hidup lama. Obat-obatan belum bisa mengobati kanker ganas ini. 5. Kemandulan Pakaian ketat dapat menyebabkan kemandulan pada wanita. Pada cuaca yang sangat dingin, pakaian ketat tidak berfungsi menjaga suhu tubuh dari serangan hawa dingin. Suhu yang terlalu dingin jelas dapat membahayakan kondisi rahim (Al-Istanbuli, 2006). Darah terganggu, menyebabkan varises dan gangguan yang di akibatkan jenis pakaian ketat dalam jangka waktu yang lama adalah membuat bentuk tubuh menjadi buruk dan merusak tulang punggung. Pakain ketat dan transparan tenyata sangat berbahaya menurut majalah kedokteran di Inggris, pakaian ketat yang di kenakan dalam waktu panjang dapat menyebabkan Kanker Milanoma. Menurut penelitian ilmiah pakaian ketat yang dikenakan oleh wanita di terik matahari dalam waktu yang panjang, setelah beberapa tahun menyebabkan Kanker ganas milanoma pada usia dini . dan kaos kaki nilon yang mereka kenakan tidak sedikitpun bermanfaat didalam menjaga kaki mereka dari kanker ganas tersebut. Kanker Melanoma adalah kanker kulit yang sangat berbahaya, dan kanker ini biasanya di mulai dengan tanda hitam pada kulit, atau tahi lalat. Tahi lalat adalah kumpulan sel pigmen abnormal (melanosit ) yang muncul pada kulit Dan penyakit ini terkadang mengenai seluruh tubuh dengan kadar yang berbeda-beda. Gejala dari kanker ini adalah munculnya bulatan berwarna hitam agak lebar dan terkadang berupa bulatan kecil saja, pada daerah kaki atau betis, atau bisa disekitar mata kemudian menyebar ke seluruh bagian tubuh. Penyebaran bulatan ini disertai pertumbuhan di daerah-daerah yang biasa terlihat, pertautan limpa (daerah di atas paha), menyerang darah, dan menetap di hati dan merusaknya. Dalam beberapa kasus kanker milanoma juga menyerang tulang, bagian dalam dada dan perut. Kanker ini juga menyerang ginjal, Jika ginjal sudah rusak air kencing akan berwarna hitam. Janin juga tidak luput dari serangan kanker milanoma ini.Orang yang menderita kanker ganas ini tidak akan hidup lama, karena belum di temukan obat yang benar benar mampu menyembuhkan kanker ganas ini. 6. Mengganggu mobilitas usus Penggunaan celana yang terlalu ketat dapat mengganggu mobilitas dari usus. Hal inilah yang membuat seseorang merasa tidak nyaman atau sakit pada perut setelah dua atau tiga jam setelah makan. Namun terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh penggunaan celana yang ketat. 7. Memicu pembekuan pembulu darah Penggunaan pakaian ketat juga akan mengganggu gerakan tubuh yang dapat memicu timbulnya pembekuan darah di dalam pembuluh darah, membuat aliran terganggu. 8. Mengganggu kesuburan wanita dan gangguan jamur di sekitar organ Endometriosis (suatu gangguan yang sering mengakibatkan gangguan kesuburan pada wanita) diduga karena disebabkan kebiasaan seseorang yang selalu memakai pakaian ketat selama bertahun-tahun. Menggunakan pakaian ketat akan memicu sel-sel endometrium (selaput lendir rahim) untuk melarikan diri dari rongga rahim lalu berdiam di indung telur, sehingga kesehatan menjadi terganggu. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, maka akan menimbulkan gangguan jamur di sekitar organ intim wanita. Bila sudah menimbulkan jamur, maka dapat dipastikan seorang wanita akan mengalami berbagai gangguan. Perlu diketahui bahwa jamur itu sangat suka suasana lembab. ia akan tumbuh subur. Jika menggunakan celana ketat jeans maka daerah lipatanya akan menjadi lembab apalagi jika dipakai seharian itulah salah satu yang menjadi munculnya keputihan 9. Memperburuk kualitas sperma dan menyebabkan kemandulan Berdasarkan penelitian bahwa penggunaan pakaian ketat menyebabkan penurunan kualitas sperma yaitu jumlah sperma yang biasanya 60 juta per mililiter kini turun drastis hingga ke angka 20 juta per mililiter. Setelah dilakukan penelitian mendalam ternyata masalahnya masih terjadi pada skrotum lapisan yang melindungi penis. Suhu yang tidak normal pada skrotum karena sering ditekan oleh celana jeans ketat bisa berakibat buruk pada kualitas sperma karena tumpukan keringat yang tidak bisa keluar disekitar penis tentu akan menimbulkan jamur yang akan meningkatkan suhu testis dalam produksi sperma. Kurang lebih sama saja dengan wanita, penggunaan celana ketat bisa menimbulkan ‘kekurangan udara’ terutama kepada organ vital.Umumnya suhu udara yang kondusif untuk organ vital normalnya sampai 36,5 derajat celcius, namun saat memakai celana ketat, suhu udarapun naik menjadi 37 derajat celcius. Kondisi yang panas ini sangat berbahaya buat sperma. Sebuah penelitian membuktikannya dengan mengambil sampel pria yang suka mengenakan celana ketat. Jumlah sperma yang diproduksi biasanya 60 juta permilimiter, dengan menggunakan celana ketat jumlah sperma turun drastis sepertiganya, yakni 20 juta permililiter. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ternyata masalahnya terletak pada skrotum. Suhu yang tidak normal pada skrotum karena celana jeans ketat bisa berakibat buruk pada kualitas sperma loh sobat kenapa? karena tumpukan keringat yang tidak bisa keluar di sekitar Organ vital. Ini akan menimbulkan jamur yang akan meningkatkan suhu testis dalam produksi sperma, dan bila diteruskan akan menjadi gatal dan akan menjalar ke bagian buah zakar. Ujung-ujungnya pun akhirnya terletak pada kesuburan kalian, walaupun secara genetik kamu termasuk keturunan yang subur, tetapi dengan kebiasaan penggunaan celana jeans ketat bisa menurunkan kualitas kesuburan! 10. Menyebabkan pingsan Mungkin terdengar ekstrim tapi hal ini sering dialami oleh beberapa wanita. Meski korset sudah tidak popular lagi, pakaian sejenis itu dapat mengurangi pemakainya mengembangkan paru-parunya dan hal ini akan mengakibatkan nafas terasa berat. Selain itu, akan memperkecil oksigen yang masuk ke dalam tubuh. Kategori pakaian seperti ini termasuk pakaian dalam pernikahan, bustier, dan spandek 11. Menaikkan asam lambung Terlalu ketat juga akan menyebabkan naiknya cairan asam lambung karena tekanan yang terlalu besar pada perut. Hal ini dapat meningkatkan tekanan di daerah abdominal yang akan menyebabkan asam lambung naik ke kerongkongan 12. Pakaian Ketat menurut Agama (Islam) Memakai pakaian yang ketat dan sesak tidak dianjurkan (makruh) baik dari sudut pandang syari’ah maupun dari sudut pandang kesehatan. Ada sebagian jenis baju ketat membuat orang yang mengenakannya sulit melakukan sujud. Jika baju seperti ini menyebabkan si pemakai sukar mengerjakan shalat atau bahkan menyebabkan dia meninggalkan shalat, maka jelas hukum memakai baju seperti ini adalah haram. Asy-Syaikh al Albaniy berkata bahwa celana ketat itu mendatangkan dua macam musibah: Musibah pertama, bahwa orang yang memakainya menyerupai orang-orang kafir. Sedangkan Kaum Muslim memang memakai celana, akan tetapi model celana yang lebar dan longgar. Model seperti ini masih banyak dipakai di daerah Suriah dan Libanon. Ummat Islam baru mengenal celana ketat setelah mereka dijajah bangsa eropa. Pengaruh buruk itulah yang diwariskan oleh kaum penjajah kepada ummat Islam. Akan tetapi karena kebodohan dan ketololan ummat Islam sendiri, Mereka mengambil tradisi buruk tersebut. Musibah kedua, celana ketat menyebabkan bentuk aurat terlihat dengan jelas. Memang benar bahwa aurat pria adalah anggota badan antara pusar dan lutut. Namun seorang hamba yang sedang melakukan shalat dituntut untuk berbuat lebih dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat (dalam masalah busana ini, lihat Al Qur’an Surah 7:31). Tidak pantas dia melakukan maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika sedang sujud bersimpuh di hadapan-Nya. Ketika dia mengenakan celana ketat, maka kedua pantatnya akan terbentuk dengan jelas. Bahkan lebih dari itu, bagian tubuh yang membelah keduanya juga terlihat nyata ! Bagaimana seorang hamba melakukan shalat dan menghadap Rabb Semesta Alam dalam keadaan seperti ini ?! Yang lebih aneh lagi adalah mayoritas pemuda Muslim biasanya menentang keras apabila kaum wanita Muslimah memakai baju ketat. Alasan mereka bahwa baju ketat yang dipakai wanita bisa menunjukkan bentuk tubuhnya secara jelas. Akan tetapi pemuda ini lupa akan dirinya sendiri. Dia tidak sadar bahwa dia telah mengerjakan suatu hal yang dia sendiri membencinya. Jika demikian, tidak ada bedanya antara wanita yang memakai baju ketat sehingga terlihat lekuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana ketat (jeans dan semacamnya-pen-) sehingga terlihat bentuk kedua pantatnya. Ketika pantat pria dan wanita dianggap sebagai aurat, maka hal menggunakan baju ketat bagi mereka itu sama saja hukumnya, yakni dilarang. Sebenarnya para pemuda wajib menyadari musibah yang telah melanda mayoritas mereka. Rasulullah SAW telah melarang kaum pria shalat dengan memakai celana tanpa gamis (kemeja). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan al Hakim. Sanad hadits ini sendiri berkualitas hasan. Lihat Shahiih al Jaami’ al Shaghiir nomor 6830 dan juga diriwayatkan oleh al Thahawiy dalam Syarh Ma’aaniy al Atsaar (I/382). Adapun jika model celana yang dikenakan ketika shalat tidak ketat dan berukuran longgar, maka sah shalat yang dikerjakan. Yang lebih baik adalah dirangkap dengan gamis yang bisa menutup anggota tubuh antara pusar dan lutut. Akan tetapi lebih baik lagi apabila panjang gamis itu sampai setengah betis atau sampai mata kaki (asalkan tidak sampai menutupi mata kaki –pen). Hal seperti ini adalah cara menutup aurat yang paling sempurna (mungkin pakaian seperti ini di daerah kita agak sukar didapatkan di pasaran, namun cukup banyak sarung yang bisa menggantikan fungsinya –pen-). (Al Fataawaa I/69, tulisan Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baz). Dengan latar belakang inilah Komite Tetap Pembahasan Masalah ‘Ilmiyyah dan fatwa Saudi Arabia (semacam MUI di Indonesia -pen-) menjawab pertanyaan mengenai hukum Islam tentang shalat memakai celana. Jawaban yang dirumuskan adalah sebagai berikut: “Jika pakaian tersebut tidak menyebabkan aurat terbentuk dengan jelas, karena modelnya longgar dan tidak bersifat transparan sehingga anggota aurat tidak bisa dilihat dari arah belakang, maka boleh dipakai ketika shalat. Namun apabila busana itu terbuat dari bahan yang tipis sehingga memungkinkan aurat yang memakai dilihat dari belakang, maka shalat yang dikerjakan batal hukumnya. Jika sifat busana yang dipakai hanya mempertajam atau memperjelas bentuk aurat saja, maka makruh mengenakan busana tersebut ketika shalat. Terkecuali jika tidak ada busana lain yang dapat dikenakan. 13. Cara Mengurangi Atau Mencegah Seorang Memakai Pakaian Ketat yang Berdampak Buruk Bagi Kesehatan Setiap manusia tentunya ketika mengetahui akibat dari penggunaan pakaian ketat akan mulai sadar dan mengurangi pemakaian pakaiaan ketat. Selain itu, mengurangi produksi pakaiaan ketat juga bisa menjadi salah satu cara yang tepat. Pemahaman sejak dini dari orang tua sangat berperan dalam memberikan pendidikan dalam berpakaian sehingga sejak kecil anak dapat memahami dampaknnya bagi kesehatan. Petugas kesehatan mempunyai perananan yang penting dalam pencegahan penggunaan pakaian ketat ini dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat terutama masyarakat di perkotaan. 14. Kesimpulan Pakaian merupakan kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat berteduh/tempat tinggal (rumah). Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan menutup dirinya. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Pakaian juga dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan pemakainya, sehingga dalam memilih pakaian yang digunakan harus cermat, seperti memilih pakaian yang tidak terlalu ketat bagi tubuh, agamapun melarang. 15. Saran Sebagai individu yang berperan dalam kesehatan masyarakat, pemahaman akan masalah-masalah yang sering terjadi sesuai dengan perkembangan zaman sangat penting dalam memecahkan permasalahan kesehatan masyarakat.

Aspek Sehat Diet Nordic Apakah Terkait Turunkan Jumlah Mortality

Anja Olsen3, Rikke Egeberg3, Jytte Halkjær3, Jane Christensen3, Kim Overvad4, 5, dan Anne Tjønneland3 Abstrak Efek mempromosikan kesehatan dari diet Mediterania telah di fokus selama beberapa dekade, sedangkan dikurangi bunga telah diberikan kepada kebiasaan makan yang ada sehat dalam budaya Barat lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan indeks pangan berbasis makanan tradisional Nordic dengan yang diharapkan efek kesehatan-mempromosikan dan menghubungkan hal ini dengan semua penyebab kematian dalam kohort Denmark. Informasi rinci tentang diet, gaya hidup, dan antropometri diberikan oleh 57.053 orang Denmark berusia 50-64 y. Selama 12 tahun follow-up, 4126 peserta kohort meninggal. Sebuah indeks makanan Nordic sehat, terdiri dari makanan tradisional Nordic dengan yang diharapkan efek mempromosikan kesehatan (ikan, kubis, roti gandum, oatmeal, apel dan pir, dan sayuran root), diekstraksi, dan dikaitkan dengan kematian oleh Cox model hazard proporsional. Rasio angka kematian (MRR) dengan 95% CI digunakan untuk menghubungkan indeks untuk kematian. Dalam model disesuaikan, skor indeks 1-point lebih tinggi dikaitkan dengan MRR signifikan lebih rendah untuk laki-laki [0,96 (0,92-0,99)] dan wanita [0,96 (0,92-1,00)] (P = 0,03). Ketika komponen indeks dievaluasi secara terpisah, gandum rye asupan roti adalah faktor yang paling konsisten dikaitkan dengan kematian lebih rendah pada pria. Sebagai kesimpulan, indeks didasarkan pada makanan tradisional yang sehat Nordic ditemukan berkaitan dengan kematian yang lebih rendah antara Denmark setengah baya, khususnya di kalangan laki-laki. Penelitian ini menunjukkan bahwa tradisional, makanan sehat harus dipertimbangkan sebelum rekomendasi umum untuk perubahan diet utama yang dibuat. Bagian SectionNext Sebelumnya Pengantar Diet Mediterania, yang mewakili diet tradisional dimakan oleh penduduk yang tinggal di Eropa Selatan, telah berhubungan dengan kesehatan yang membaik sejak akhir 1980-an (1, 2). Pola diet Mediterania telah ditandai dengan asupan yang relatif tinggi sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, sereal, ikan, dan minyak zaitun, asupan moderat produk susu dan anggur, dan konsumsi rendah daging merah (3, 4). Sejak penemuan bahwa gaya hidup dipraktekkan di wilayah Mediterania dikaitkan dengan kejadian yang lebih rendah dari penyakit kronis, pola diet Mediterania telah direkomendasikan sebagai alternatif diet yang lebih baik bagi penduduk di banyak negara Barat lainnya. Baru-baru ini, sebuah meta-analisis menyimpulkan bahwa kepatuhan yang lebih besar untuk diet Mediterania dikaitkan dengan status kesehatan secara signifikan lebih baik dan bahwa pola diet Mediterania-seperti harus didorong untuk pencegahan primer penyakit kronis utama (5). Meskipun promosi yang luas dari pola diet Mediterania, kepatuhan untuk itu, bagaimanapun, masih rendah di luar wilayah geografis tradisional (6). Pengetahuan tentang gaya hidup sehat tidak selalu diikuti dengan perubahan pola makan yang tepat (7), dan promosi diet Mediterania belum diikuti dengan perubahan gaya hidup di bagian lain dari dunia Barat, mungkin karena berbagai hambatan, termasuk kesulitan dalam fundamental mengubah pola diet, aksesibilitas terbatas pada bahan-bahan, dan perbedaan budaya dalam rasa (8-10). Di negara-negara Nordik, pola diet Mediterania juga telah dianggap sebagai alternatif yang sehat untuk diet yang ada dan telah dipromosikan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat (11, 12). Seringkali, diet Utara modern yang telah ditandai dengan fitur yang tidak sehat, dengan asupan tinggi gula, margarin, produk susu tinggi lemak, dan daging merah dan konsumsi rendah buah dan sayuran (13), tetapi secara tradisional, diet Nordik telah , dan untuk beberapa memperpanjang masih, juga ditandai dengan item makanan dengan profil nutrisi yang lebih positif. Barang-barang makanan Nordic tradisional dapat, sampai batas tertentu, ditandai dengan asal-usul mereka dari sifat Nordic. Iklim Nordic membatasi keanekaragaman tanaman, tapi makanan nabati seperti buah, kubis, apel, pir, sayuran akar, oat, dan gandum hitam berkembang, lebih jauh lagi, garis pantai panjang menyediakan sumber yang kaya ikan (14). Makanan ini Nordic tradisional semuanya telah dianggap berasal dari efek kesehatan yang menguntungkan (15-22). Dampak kesehatan negatif dari beberapa item makanan mencirikan diet Nordik modern terbukti baik dan pola diet Nordic umum (13) karena itu tidak dianggap positif terkait dengan hasil kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pola makan Nordic dari sudut pandang positif dengan mengembangkan indeks berbasis pangan hanya memasukkan item makanan tradisional Nordic dengan diharapkan mempromosikan kesehatan efek dan untuk mengevaluasi apakah kepatuhan yang lebih besar untuk indeks ini dikaitkan dengan menurunkan semua penyebab kematian dalam kohort Denmark setengah baya. (translate by : Asloli Pratuesci)

Penurunan glycemia Postprandial, Insulinemia, dan Kerusakan oksidatif dalam Individual Sehat

David J. A. Jenkins2-5 *, Cyril W. C. Kendall2, 4, Andrea R. Josse2, 4, Sara Salvatore6, Furio Brighenti6, Livia S. A. Augustin2, 4, Peter R. Ellis7, Edward Vidgen4, dan A. Venket Rao4 Abstrak Strategi yang menurunkan gula darah postprandial, termasuk enzim pencernaan inhibisi, dan rendah glikemik indeks diet hasil dalam insiden diabetes yang lebih rendah dan penyakit jantung koroner (PJK) risiko, mungkin melalui kerusakan oksidatif postprandial lebih rendah untuk lemak dan protein. Oleh karena itu kami menilai efek penurunan gula darah postprandial pada ukuran kerusakan oksidatif. Lima belas subyek sehat makan 2 kali kontrol roti dan 3 uji makanan: almond dan roti, beras setengah matang, dan kentang tumbuk instan, seimbang karbohidrat, lemak, dan protein, menggunakan mentega dan keju. Kami memperoleh sampel darah pada awal dan selama 4 jam postprandially. Indeks glikemik beras (38 ± 6) dan makan almond (55 ± 7) kurang dari untuk makan kentang (94 ± 11) (P <0,003), karena wilayah postprandial bawah insulin konsentrasi waktu kurva (P < 0,001). Tidak ada perbedaan perlakuan pasca-makan terlihat dalam kapasitas antioksidan total. Namun, serum protein tiol konsentrasi meningkat setelah makan almond (15 ± 14 mmol / L), menunjukkan kerusakan protein oksidatif rendah, dan menurun setelah roti kontrol, beras, dan makanan kentang (-10 ± 8 mmol / L), ketika data dari 3 makanan ini dikumpulkan (P = 0,021). Perubahan tiol protein juga berhubungan negatif dengan postprandial tambahan puncak glukosa (r = -0.29, n = 60 pengamatan, P = 0,026) dan tanggapan insulin puncak (r = -0.26, n = 60 pengamatan, P = 0,046). Oleh karena itu, menurunkan gula darah postprandial dapat menurunkan risiko kerusakan oksidatif protein. Almond cenderung menurunkan risiko ini dengan mengurangi perjalanan glisemik dan dengan menyediakan antioksidan. Tindakan ini mungkin berhubungan dengan mekanisme yang kacang berhubungan dengan penurunan risiko PJK. (translate by : Asloli Pratuesci)

Imunitas dan Kapasitas Antioksidan pada Manusia Apakah Ditingkatkan dengan Konsumsi Kering, Buah dan Sayuran Encapsulated Juice konsentrat

1. Meri P. Nantz2, 2. Cheryl A. Rowe2, 3. Carmelo Nieves Jr, dan 4. Susan S. Percival * Abstrak Konsumsi harian buah-buahan dan sayuran adalah rekomendasi diet umum untuk mendukung kesehatan yang baik. Kami berhipotesis bahwa dikemas buah yang tersedia secara komersial dan jus sayuran bubuk konsentrat (FVJC) dapat mendukung indeks fungsional kesehatan karena peningkatan konsumsi berbagai fitonutrien. Ini adalah, acak penyelidikan double-blind, placebo-controlled dari 59 mahasiswa hukum sehat yang dikonsumsi baik FVJC atau plasebo kapsul untuk 77 d. Darah dikumpulkan pada d 1, 35, dan 77 untuk memeriksa jumlah sirkulasi sel-αβ dan γδ-T, produksi sitokin, kerusakan DNA limfosit, status antioksidan, dan tingkat karotenoid dan vitamin C. log penyakit dan gejala itu juga terus. Kelompok FVJC cenderung memiliki jumlah gejala yang lebih sedikit dibandingkan kelompok plasebo (P <0,076). Oleh d 77 ada 30% peningkatan sirkulasi sel γδ-T dan penurunan 40% kerusakan DNA dalam limfosit pada kelompok FVJC relatif terhadap kelompok plasebo. Tingkat plasma vitamin C dan β-karoten, likopen, lutein dan meningkat secara signifikan dari baseline pada kelompok FVJC seperti halnya oksigen daya serap radikal plasma (50%). Interferon-γ diproduksi oleh phorbol-dirangsang limfosit berkurang 70% pada kelompok FVJC, sedangkan sitokin lain (IL-4, IL-6, mengubah faktor pertumbuhan β) tidak berubah relatif terhadap pengobatan atau waktu. Konsumsi FVJC selama periode penelitian ini menghasilkan peningkatan nutrisi plasma dan kapasitas antioksidan, penurunan kerusakan DNA, dan peningkatan sirkulasi sel-T γδ. Komponen buah-buahan dan sayuran, seperti vitamin, mineral, dan fitokimia lainnya yang efektif dalam menjaga kesehatan dan fungsi kekebalan tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi konsumsi buah dan sayuran dalam bentuk bubuk konsentrat dikemas dari jus buah dan sayur campuran dan untuk mengkorelasikan menelan kapsul ini dengan tingkat serum antioksidan, biomarker kekebalan tubuh, dan penyakit. Sebuah buah dan sayuran konsentrat jus encapsulated (FVJC) telah terbukti meningkatkan proliferasi sel mononuklear darah perifer (PBMC), meningkatkan pembunuh alami (NK) sitotoksisitas sel pada perokok usia lanjut, dan meningkatkan IL-2 produksi di kedua perokok dan bukan perokok Kami hipotesis bahwa konsumsi FVJC ini juga mungkin berdampak tanda fungsi kekebalan pada populasi yang lebih muda, terutama terkait dengan populasi γδ-T-sel. γδ-sel T, yang memiliki karakteristik imunitas bawaan dan diperoleh, berperan dalam melindungi lapisan epitel, imunosurveilans terhadap sel yang terinfeksi terinfeksi dan tumor, dan berperan dalam penyembuhan luka Sebuah penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa konsumsi FVJC untuk 84 d mengurangi jumlah kerusakan DNA pada PBMC, yang diukur dengan tes komet Selain itu, studi ini menggunakan persiapan menunjukkan bahwa karotenoid plasma dan kadar vitamin C plasma meningkat sedangkan indikator kerusakan oksidatif, seperti tingkat lipid peroksida serum dan kadar malondialdehid plasma, menurun Tujuan kami adalah untuk memperluas studi ini dan memeriksa populasi sehat yang mungkin mengalami stres. Mahasiswa hukum dilaporkan telah mengurangi kesejahteraan subjektif relatif terhadap populasi umum atau mahasiswa kedokteran Subjektif kesejahteraan mengacu pada bagaimana orang menilai kehidupan mereka. Mahasiswa hukum juga telah diamati untuk memperoleh penurunan psikologis dan fisik Stres kesehatan dikenal memiliki efek merugikan pada kekebalan tubuh dan dapat meningkatkan kerentanan terhadap agen infeksi, mempengaruhi keparahan infeksi, mengurangi respon terhadap vaksin, mengaktifkan herpes laten atau Epstein- virus Barr, dan mengurangi laju penyembuhan luka. Respon stres menyerupai keadaan pro-oksidatif dengan potensi kerusakan radikal bebas pada sejumlah sel dan jaringan. Kami berhipotesis bahwa konsumsi kapsul FVJC bisa mencegah kerusakan sel-sel imun spesifik pada siswa tersebut. Kami mengukur jumlah sel T, sekresi sitokin setelah kultur beredar, istirahat untai DNA dalam limfosit, status antioksidan, dan jumlah dan durasi penyakit. Juga dievaluasi adalah penanda untuk stres, virus Epstein-Barr (EBV) (translate by : Asloli Pratuesci)

Bukti untuk Mendukung Klaim Kesehatan Probiotics

Edward R. Farnworth * Abstrak Sebagai manfaat kesehatan menelan bakteri hidup menjadi lebih jelas, makanan sekarang sedang diproduksi yang mengandung bakteri probiotik. Data untuk mendukung klaim kesehatan label untuk produk probiotik seringkali sulit untuk memberikan. Bukti eksperimental untuk mengidentifikasi mikroorganisme probiotik dan untuk menunjukkan keberhasilan mereka dalam uji klinis lebih menantang daripada makanan lain fungsional potensial karena efek yang dimediasi oleh mikroorganisme hidup dan karenanya dapat dipengaruhi oleh status mikroorganisme ini. Uji klinis menunjukkan efikasi yang mahal. Mendapatkan sampel yang sesuai sulit. Sebuah konsensus ilmiah adalah membangun untuk mendukung klaim bahwa konsumsi bakteri probiotik tertentu mengurangi intoleransi laktosa dan dapat mengurangi durasi diare rotavirus. Beberapa bakteri probiotik telah "secara umum diterima sebagai aman" status; bukti keselamatan setiap probiotik sangat penting. Pejabat regulasi kesehatan Jepang, menggunakan Foods mereka Tertentu Kesehatan sistem Gunakan, telah menyetujui klaim kesehatan manusia selama lebih dari 20 produk probiotik. Di sisi lain, saat ini, tidak ada produk probiotik yang dijual di Kanada yang membawa klaim kesehatan label. Ini menggambarkan perbedaan yang cukup besar di negara-negara di persepsi efek kesehatan dari probiotik. Makanan fermentasi dan makanan yang mengandung bakteri hidup yang dikenal di seluruh dunia (1,2). Secara tradisional, makanan yang difermentasi untuk memperpanjang umur simpan dengan mengurangi pH atau untuk meningkatkan rasa dengan memproduksi metabolit bakteri beraroma atau tekstur dengan memecah beberapa karbohidrat. Fermentasi juga dapat meningkatkan nilai gizi makanan dengan memproduksi vitamin dan mogok faktor nonnutritive. Dengan bukti meningkat bahwa beberapa bakteri dapat bermanfaat bagi kesehatan manusia dan metabolisme (3,4), minat pada makanan yang mengandung bakteri hidup telah meningkat, dan produsen makanan saat ini menambahkan bakteri menguntungkan untuk berbagai macam makanan dan minuman. Kedua produk fermentasi, misalnya, susu, kedelai, daging, dan makanan nonfermented, misalnya sarapan sereal dan jus buah, sekarang mungkin mengandung bakteri yang dianggap menguntungkan. Dengan demikian, dalam kategori luas makanan fungsional, makanan yang telah menambahkan manfaat kesehatan, ada subkelompok makanan disebut probiotik-makanan yang mungkin bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung bakteri probiotik (translate by : Asloli Pratuesci)
Analisis Anemia dan Kehamilan-Terkait Ibu Mortality1, 2 1. Bernard J. Brabin3, 2. Mohammad Hakimi *, dan 3. David Pelletier † 1. Liverpool School of Tropical Medicine, Liverpool, Inggris dan University of Amsterdam, Emma Kinderziekenhuis, Academic Medical Centre, Amsterdam, Belanda; 2. * Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, dan 3. † Divisi Ilmu Gizi, Universitas Cornell, Ithaca, NY 14853 1. ↵ 3Untuk siapa korespondensi dan cetak ulang permintaan harus ditangani. E-mail: l.j.taylor {at} liverpool.ac.uk Bagian berikutnya Abstrak Hubungan anemia sebagai faktor risiko untuk kematian ibu dianalisis dengan menggunakan studi cross-sectional, longitudinal dan kasus-kontrol karena percobaan acak yang tidak tersedia untuk analisis. Berikut ini enam metode estimasi risiko kematian diadopsi: 1) korelasi tingkat kematian ibu dengan prevalensi anemia ibu berasal dari statistik nasional, 2) proporsi kematian ibu disebabkan anemia, 3) proporsi wanita anemia yang meninggal; 4) populasi berisiko-disebabkan kematian ibu akibat anemia, 5) remaja sebagai faktor risiko untuk kematian anemia terkait, dan 6) penyebab anemia yang berhubungan dengan kematian ibu. Perkiraan rata-rata untuk semua penyebab anemia disebabkan kematian (baik langsung dan tidak langsung) adalah 6.37, 7.26 dan 3,0% untuk Afrika, Asia dan Amerika Latin, masing-masing. Angka kasus kematian, terutama untuk studi rumah sakit, bervariasi dari <1% sampai> 50%. Risiko relatif kematian terkait dengan anemia sedang (hemoglobin 40-80 g / L) adalah 1,35 [95% confidence interval (CI): 0,92-2,00] dan anemia berat (<47 g / L) adalah 3,51 (95% CI : 2,05-6,00). Estimasi populasi berisiko-disebabkan dapat dipertahankan atas dasar hubungan yang kuat antara anemia berat dan kematian ibu tetapi tidak untuk anemia ringan atau sedang. Di daerah malaria holoendemic dengan prevalensi anemia berat 5% (hemoglobin <70 g / L), diperkirakan bahwa pada primigravida, akan ada kematian anemia terkait 9 parah-malaria dan 41 nonmalarial kematian anemia terkait (kebanyakan gizi) per 100.000 kelahiran hidup. Komponen kekurangan zat besi ini tidak diketahui. • kehamilan • anemia • Kematian • malaria • kekurangan zat besi Analisis Anemia dan Kehamilan-Terkait Kematian Ibu 1. Bernard J. Brabin, 2. Mohammad Hakimi 3. David Pelletier Kematian ibu terus menjadi masalah kesehatan utama di negara berkembang. Hampir 600.000 perempuan meninggal setiap tahun akibat komplikasi kehamilan dan persalinan, sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan sumber daya dicapai dan keterampilan (WHO 1996). Rasio kematian ibu di seluruh dunia (jumlah tahunan kematian perempuan dari penyebab yang berhubungan dengan kehamilan per 100.000 kelahiran hidup) diperkirakan 390 per 100,00 kelahiran hidup (Abousahr dan Royston 1991). Sebagian besar terjadi di negara berkembang, di mana wanita memiliki risiko kematian pada kehamilan dan persalinan yang 50-100 kali lebih besar daripada wanita di negara maju (Starrs 1987). Di negara berkembang, harga setinggi 700 per 100.000 kelahiran hidup di banyak bagian Afrika dan di beberapa negara di Asia selatan. Perbedaan besar dalam risiko terkait terutama untuk perbedaan dalam perawatan kebidanan yang tersedia bagi perempuan yang tinggal di daerah dengan antenatal yang tidak memadai dan fasilitas perawatan pengiriman. Harrison (1989) telah memperjuangkan argumen untuk mengembangkan peningkatan perawatan kehamilan untuk mengurangi kematian ibu di negara-negara berkembang. Dalam laporan dari Nigeria, ia telah menyoroti pentingnya anemia ibu sebagai faktor penyumbang kematian ibu (Harrison 1975, Harrison dan Rossiter 1985). Pada tahun 1987, badan-badan internasional dan para pemimpin dari 45 negara mendirikan prakarsa Safe Motherhood dengan tujuan mengurangi separuh kematian ibu pada tahun 2000 (World Bank 1993). Sebuah komponen kunci dari Safe Motherhood adalah pemberantasan anemia selama kehamilan. WHO telah menghasilkan perkiraan beban global kematian disebabkan anemia (segala bentuk) pada wanita usia reproduksi (Murray dan Lopez 1994). Ini diringkas dalam Tabel 1. Total perkiraan adalah minimal 16.800 dan maksimal 28.000 per tahun ~ dengan risiko kematian yang berhubungan dengan anemia pada wanita muda. (translate by : Asloli Pratuesci)
Analisis Anemia dan Kehamilan-Terkait Ibu Mortality1, 2 1. Bernard J. Brabin3, 2. Mohammad Hakimi *, dan 3. David Pelletier † 1. Liverpool School of Tropical Medicine, Liverpool, Inggris dan University of Amsterdam, Emma Kinderziekenhuis, Academic Medical Centre, Amsterdam, Belanda; 2. * Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, dan 3. † Divisi Ilmu Gizi, Universitas Cornell, Ithaca, NY 14853 1. ↵ 3Untuk siapa korespondensi dan cetak ulang permintaan harus ditangani. E-mail: l.j.taylor {at} liverpool.ac.uk Bagian berikutnya Abstrak Hubungan anemia sebagai faktor risiko untuk kematian ibu dianalisis dengan menggunakan studi cross-sectional, longitudinal dan kasus-kontrol karena percobaan acak yang tidak tersedia untuk analisis. Berikut ini enam metode estimasi risiko kematian diadopsi: 1) korelasi tingkat kematian ibu dengan prevalensi anemia ibu berasal dari statistik nasional, 2) proporsi kematian ibu disebabkan anemia, 3) proporsi wanita anemia yang meninggal; 4) populasi berisiko-disebabkan kematian ibu akibat anemia, 5) remaja sebagai faktor risiko untuk kematian anemia terkait, dan 6) penyebab anemia yang berhubungan dengan kematian ibu. Perkiraan rata-rata untuk semua penyebab anemia disebabkan kematian (baik langsung dan tidak langsung) adalah 6.37, 7.26 dan 3,0% untuk Afrika, Asia dan Amerika Latin, masing-masing. Angka kasus kematian, terutama untuk studi rumah sakit, bervariasi dari <1% sampai> 50%. Risiko relatif kematian terkait dengan anemia sedang (hemoglobin 40-80 g / L) adalah 1,35 [95% confidence interval (CI): 0,92-2,00] dan anemia berat (<47 g / L) adalah 3,51 (95% CI : 2,05-6,00). Estimasi populasi berisiko-disebabkan dapat dipertahankan atas dasar hubungan yang kuat antara anemia berat dan kematian ibu tetapi tidak untuk anemia ringan atau sedang. Di daerah malaria holoendemic dengan prevalensi anemia berat 5% (hemoglobin <70 g / L), diperkirakan bahwa pada primigravida, akan ada kematian anemia terkait 9 parah-malaria dan 41 nonmalarial kematian anemia terkait (kebanyakan gizi) per 100.000 kelahiran hidup. Komponen kekurangan zat besi ini tidak diketahui. • kehamilan • anemia • Kematian • malaria • kekurangan zat besi Analisis Anemia dan Kehamilan-Terkait Kematian Ibu 1. Bernard J. Brabin, 2. Mohammad Hakimi 3. David Pelletier Kematian ibu terus menjadi masalah kesehatan utama di negara berkembang. Hampir 600.000 perempuan meninggal setiap tahun akibat komplikasi kehamilan dan persalinan, sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan sumber daya dicapai dan keterampilan (WHO 1996). Rasio kematian ibu di seluruh dunia (jumlah tahunan kematian perempuan dari penyebab yang berhubungan dengan kehamilan per 100.000 kelahiran hidup) diperkirakan 390 per 100,00 kelahiran hidup (Abousahr dan Royston 1991). Sebagian besar terjadi di negara berkembang, di mana wanita memiliki risiko kematian pada kehamilan dan persalinan yang 50-100 kali lebih besar daripada wanita di negara maju (Starrs 1987). Di negara berkembang, harga setinggi 700 per 100.000 kelahiran hidup di banyak bagian Afrika dan di beberapa negara di Asia selatan. Perbedaan besar dalam risiko terkait terutama untuk perbedaan dalam perawatan kebidanan yang tersedia bagi perempuan yang tinggal di daerah dengan antenatal yang tidak memadai dan fasilitas perawatan pengiriman. Harrison (1989) telah memperjuangkan argumen untuk mengembangkan peningkatan perawatan kehamilan untuk mengurangi kematian ibu di negara-negara berkembang. Dalam laporan dari Nigeria, ia telah menyoroti pentingnya anemia ibu sebagai faktor penyumbang kematian ibu (Harrison 1975, Harrison dan Rossiter 1985). Pada tahun 1987, badan-badan internasional dan para pemimpin dari 45 negara mendirikan prakarsa Safe Motherhood dengan tujuan mengurangi separuh kematian ibu pada tahun 2000 (World Bank 1993). Sebuah komponen kunci dari Safe Motherhood adalah pemberantasan anemia selama kehamilan. WHO telah menghasilkan perkiraan beban global kematian disebabkan anemia (segala bentuk) pada wanita usia reproduksi (Murray dan Lopez 1994). Ini diringkas dalam Tabel 1. Total perkiraan adalah minimal 16.800 dan maksimal 28.000 per tahun ~ dengan risiko kematian yang berhubungan dengan anemia pada wanita muda. (translate by : Asloli Pratuesci)
Diet, nutrisi, dan tulang Health1, 2 Kevin D. Cashman * Departemen Pangan dan Ilmu Gizi dan Departemen Kedokteran, University College Cork, Cork, Irlandia abstrak Osteoporosis adalah penyakit yang melemahkan yang mempengaruhi banyak orang tua. Patah tulang merupakan ciri khas dari osteoporosis. Meskipun nutrisi hanya 1 dari banyak faktor yang mempengaruhi massa tulang dan patah tulang, ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan dan menerapkan pendekatan dan kebijakan gizi untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis yang bisa, dengan waktu, menawarkan dasar untuk pencegahan berbasis populasi strategi. Namun, untuk mengembangkan strategi yang efisien dan cepat matang dalam pencegahan osteoporosis, penting untuk menentukan faktor dimodifikasi, terutama faktor gizi, dapat meningkatkan kesehatan tulang sepanjang hidup. Ada berpotensi banyak nutrisi dan komponen diet yang dapat mempengaruhi kesehatan tulang, dan ini berkisar dari macronutrients mikronutrien serta bahan makanan bioaktif. Bukti-dasar untuk mendukung peran nutrisi dan komponen makanan dalam rentang kesehatan tulang dari sangat kuat untuk sedikit, tergantung pada nutrisi / komponen. Artikel ini awalnya ikhtisar osteoporosis, termasuk definisi, etiologi, dan kejadian, dan kemudian memberikan beberapa informasi tentang kemungkinan strategi diet untuk mengoptimalkan kesehatan tulang dan mencegah osteoporosis. Potensi manfaat kalsium, vitamin D, vitamin K1, phytoestrogen, dan oligosakarida nondigestible secara singkat dibahas, dengan penekanan khusus pada dasar bukti untuk keuntungan mereka ke tulang. Hal ini juga sempat mempertimbangkan beberapa temuan terbaru yang menyoroti pentingnya beberapa faktor makanan bagi kesehatan tulang pada masa kanak-kanak dan remaja. (translate by Asloli Pratuesci)
Dampak Kacang Tanah dan Kacang Pohon di Berat Badan dan Sehat Berat Badan Richard D. Mattes Penny Kris-Etherton dan Gary D. Foster 3 Departemen Makanan dan Gizi, Universitas Purdue, West Lafayette, IN 47907-2059, 4Department Ilmu Gizi, Pennsylvania State University, University Park, PA 16802, dan 5Center Penelitian Obesitas dan Pendidikan, Temple University School of Medicine, Philadelphia, Abstrak Kacang (tanah dan pohon) merupakan sumber yang kaya nutrisi dan beberapa konsumsi mereka dikaitkan dengan manfaat kesehatan, termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Hal ini telah mendorong rekomendasi untuk meningkatkan konsumsi. Namun, mereka juga tinggi lemak (meskipun sebagian besar tak jenuh) dan energi padat. Hubungan antara sifat-sifat ini, keseimbangan energi positif, dan berat badan menimbulkan pertanyaan tentang rekomendasi tersebut. Masalah ini diatasi melalui tinjauan literatur yang berkaitan dengan hubungan antara konsumsi kacang dan keseimbangan energi. Studi epidemiologis mendokumentasikan hubungan terbalik antara frekuensi konsumsi kacang dan BMI. Uji klinis menunjukkan sedikit atau tidak ada perubahan berat dengan masuknya berbagai jenis kacang-kacangan dalam diet selama 1-6 mo. Studi mekanistik menunjukkan ini terutama disebabkan oleh properti kekenyangan tinggi dari kacang-kacangan, yang mengarah ke respon kompensasi yang account untuk 65-75% dari energi yang mereka berikan. Data yang terbatas menunjukkan konsumsi kronis dikaitkan dengan pengeluaran energi istirahat ditinggikan sehingga disipasi bagian lain dari energi yang mereka berikan. Selain itu, karena bioaccessibility miskin, ada efisiensi terbatas penyerapan energi dari kacang-kacangan. Secara kolektif, mekanisme ini diimbangi banyak energi yang disediakan oleh kacang. Beberapa uji coba kontras penurunan berat badan melalui rejimen yang menyertakan atau mengecualikan kacang menunjukkan peningkatan kepatuhan dan penurunan berat badan lebih besar ketika kacang diijinkan. Ini literatur konsisten menunjukkan kacang bisa dimasukkan dalam diet, di moderasi, untuk meningkatkan palatabilitas dan kualitas nutrisi tanpa berpose ancaman bagi berat badan.
Rokok Merokok Apakah Terkait dengan Pola Sehat dari Intake Gizi: Meta-analysis1, 2 Jean Dallongeville * †, 3, Nadine Marécaux †, Jean-Charles Fruchart ***, dan Philippe Amouyel † * Département d'athérosclérose, † INSERM CJF 95-05, ** INSERM U-325, Institut Pasteur de Lille, Lille 59.019 cedex, Prancis Bagian berikutnya Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status merokok dan asupan gizi menggunakan meta-analisis. Publikasi dalam bahasa Inggris yang dicari melalui pencarian Medline menggunakan kata-kata kunci berikut: kebiasaan makanan, makan, perilaku makan, diet, makanan, gizi, status gizi atau penilaian, penggunaan tembakau gangguan, tembakau, nikotin dan merokok. Pemindaian daftar referensi yang relevan dari artikel dan tangan searching menyelesaikan pengumpulan data. Tidak ada upaya untuk mencari hasil yang tidak dipublikasikan. Pilihan Kertas didasarkan pada survei gizi termasuk perbandingan perokok dengan bukan perokok. Lima puluh satu survei gizi diterbitkan dari 15 negara yang berbeda dengan 47.250 bukan perokok dan 35.870 perokok yang digunakan dalam analisis. Perkiraan efek ukuran dihitung dengan nilai rata-rata dan varians dari setiap asupan gizi dan ukuran sampel. Perokok dinyatakan signifikan (semua P <10-5) asupan energi yang lebih tinggi (4,9%), lemak total (+3,5%), lemak jenuh (8,9%), kolesterol (10,8%) dan alkohol (77,5%) dan asupan rendah lemak tak jenuh ganda (-6,5%), serat (-12,4%), vitamin C (-16,5%), vitamin E (-10,8%) dan β-karoten (-11,8%) dibanding bukan perokok. Protein dan karbohidrat intake tidak berbeda antara perokok dan bukan perokok. Tidak ada bukti heterogenitas antara studi. Kesimpulannya, asupan gizi perokok berbeda secara substansial dari orang-orang bukan perokok. Beberapa perbedaan ini dapat memperburuk efek buruk dari komponen asap di kanker dan risiko penyakit jantung koroner. makanan Rokok tembakau penyakit jantung koroner kanker Di negara-negara industri, merokok merupakan penyebab utama dari penyakit yang dapat dicegah dan kematian dini (Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan tahun 1989, Lakier 1992, Phillips et al. 1996, Thun et al. 1995). Beberapa studi telah menunjukkan antropometri dan biologi heterogenitas antara perokok dan bukan perokok (Blair et al. 1980, Craig et al. Tahun 1989, Goldbourt dan Medalie 1975, Klesges et al. 1989). Perbedaan-perbedaan ini mungkin akibat dari pengaruh komponen asap pada berbagai reaksi metabolik (Craig 1993, Jensen et al. 1995, Morrow et al. 1995) atau mungkin tergantung pada perilaku atau gaya hidup yang berbeda pada perokok dan bukan perokok (Blair et al. 1980 , Goldbourt dan Medalie 1975, Revicki et al. 1991, Woodward et al. 1994). Pengkajian kebiasaan gizi dalam studi populasi telah menunjukkan bahwa perokok dan bukan perokok berbeda dalam cara mereka memilih makanan mereka (Midgette et al. Tahun 1993, Preston 1991, Subar dan Harlan 1993). Studi ini dilakukan di negara-negara dengan budaya dan gaya hidup yang berbeda, sehingga menambah variabilitas sudah penting dari asupan gizi dalam populasi. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menilai hubungan antara status merokok dan asupan gizi menggunakan alat yang kuat dari meta-analisis. Teknik ini menyerap bagian dari variabilitas latar belakang dan oleh karena itu, dalam pandangan kami, tampaknya cocok untuk perbandingan transkultural dari asupan gizi. Bagian SectionNext Sebelumnya BAHAN DAN METODE Studi. Publikasi termasuk dalam analisis ini adalah mereka yang meneliti hubungan antara energi dan asupan gizi dan status merokok. Kriteria inklusi adalah sebagai berikut: Survei nutrisi termasuk perbandingan perokok yang bukan perokok. Nutrisi harus disajikan sebagai variabel kuantitatif dalam satuan berat. Artikel baru diterbitkan ditulis dalam bahasa Inggris tercatat. Publikasi yang dicari melalui pencarian Medline, pemindaian daftar referensi yang relevan dari artikel dan tangan mencari di makalah yang diterbitkan yang disurvei (daftar yang tersedia atas permintaan). Tidak ada upaya untuk mencari hasil yang tidak dipublikasikan. Hanya studi paling baru ini diterbitkan dengan jumlah terbesar subyek dari survei yang sama dimasukkan dalam analisis. Ketika nilai-nilai perokok berat yang tersedia untuk perhitungan statistik, mereka yang digunakan bukan kelompok-kelompok yang tidak ditentukan perokok. Demikian pula, data dari bukan perokok atau tidak pernah-perokok dipilih sebagai kontrol. Survei nutrisi dibuat dengan 3 - untuk 7-d catatan makanan, 24-h ingat atau catatan, kuesioner frekuensi makanan diet atau sejarah. Dalam studi tertentu, kuesioner khusus digunakan untuk menilai konsumsi alkohol. Total asupan energi yang digunakan di mana dinyatakan dalam kalori atau joule. Variabel gizi (protein, karbohidrat, lipid, alkohol, lemak jenuh, lemak tak jenuh ganda, kolesterol, serat, vitamin C, β-karoten, vitamin E, zat besi dan kalsium) dianalisis hanya bila tersedia dalam massa per satuan waktu. Asupan protein, lipid, karbohidrat dan alkohol dinyatakan sebagai persentase dari total energi yang tidak dipilih untuk analisis statistik. Nilai rata-rata yang disesuaikan untuk kovariat dalam lima studi. Bila perlu, deviasi standar dihitung dari standard error atau interval kepercayaan 95% dari rata-rata untuk tujuan penelitian. Kriteria eksklusi meliputi: makalah tidak diterbitkan, artikel yang ditulis dalam bahasa lain selain bahasa Inggris, data lama (diperbaharui lebih publikasi terpilih baru-baru ini) dan studi diulang dengan sejumlah kecil mata pelajaran. Publikasi lain yang ditolak karena informasi yang hilang (varians atau jumlah mata pelajaran) untuk analisis statistik, atau dimana data yang disajikan dalam persentase dari total energi atau unit nonkonvensional (minuman atau frekuensi asupan). Daftar makalah ditolak disajikan dalam Lampiran. Selain itu, dalam analisis subsampel, kita tidak termasuk total 15 studi yang didasarkan pada kriteria sebagai berikut: populasi yang dipilih (wanita hamil atau remaja) dan penilaian diet berdasarkan recall 24 jam. Data yang dikumpulkan. Sebanyak 51 studi (67 sampel) disertakan dan dianalisis dalam meta-analisis ini. Informasi berikut dikumpulkan dari masing-masing kertas: karakteristik populasi (jenis kelamin, asal sampel, umur), metodologi sampling, tipe investigasi makanan, analisis statistik, ukuran sampel, dan standar deviasi energi dan nutrisi, dan status merokok (perokok, perokok berat, tidak pernah-perokok dan bukan perokok). Metode statistik. Perbedaan antara asupan gizi perokok dan non-perokok dinyatakan sebagai proporsi pooled SD: Formula mana M smoi dan M non-smoi merupakan nilai rata-rata nutrisi yang diberikan pada perokok dan bukan perokok kelompok studi yang sama. SD i, menggenang standar deviasi masing-masing gizi dihitung untuk setiap studi sebagai berikut: Formula Formula mana n smoi dan n non-smoi mewakili jumlah perokok dan bukan perokok di setiap studi untuk nutrisi tertentu, SD smoi dan SD non-smoi adalah standar deviasi dari nilai rata-rata dari nutrisi yang diberikan. Rerata Z-skor perbedaan, 95% confidence interval dan homogenitas data dinilai seperti yang dijelaskan sebelumnya (Hedges dan Olkin 1985). Untuk tujuan ini, studi masing-masing ditimbang oleh W i: Formula Formula dan rata-rata Z-skor dihitung sebagai berikut: Formula Strategi ini memungkinkan normalisasi data dan evaluasi statistik perbedaan antara perokok dan bukan perokok. Untuk menilai secara kuantitatif perbedaan asupan gizi antara perokok dan bukan perokok, persentase perbedaan rata-rata untuk nutrisi yang diberikan dihitung setelah bobot setiap perbedaan persentase jumlah subjek sampel sebagai berikut: Formula Formula dimana N smo dan N non-smo adalah jumlah ni untuk nutrisi yang diberikan. Bagian SectionNext Sebelumnya HASIL Jumlah mata pelajaran bervariasi sesuai dengan nutrisi yang dianalisis (Tabel 1). Sampel berasal dari 15 negara. Dalam beberapa kasus, sampel diambil dari kelompok yang dipilih mata pelajaran: wanita hamil (n = 6), remaja (n = 3), pekerja manual dan non-pengguna (n = 1). Lihat tabel ini: Dalam jendela ini Di jendela baru Tabel 1. Karakteristik penelitian untuk meta-analysis1-1 Hubungan antara status merokok dan energi total, lemak, protein, karbohidrat, alkohol dan asupan serat disajikan sebagai Z-skor perbedaan untuk setiap studi individu (Gambar 1). Perokok melaporkan konsumsi lebih tinggi dari total energi, lemak dan alkohol dibanding bukan perokok di 69,2% (36/52), 68,6% (24/35) dan 100% (29/29) dari studi, masing-masing. Perbedaan ini sangat jelas untuk alkohol. Dalam semua studi pelaporan asupan alkohol, itu lebih tinggi pada perokok daripada bukan perokok. Sebaliknya, protein dan karbohidrat konsumsi yang merata sekitar Z-skor 0. Asupan serat lebih rendah pada perokok daripada bukan perokok di 93,7% (30/32) dari studi. Jenuh asupan lemak dan kolesterol yang lebih tinggi pada perokok dibandingkan non-perokok di 87,5% (21/24) dan 89,5% (17/19), masing-masing, dan asupan lemak tak jenuh ganda lebih rendah pada perokok di 62,5% (10/16) dari penelitian, menunjukkan hubungan antara komposisi asam lemak dari diet, konsumsi kolesterol dan status merokok (Gambar 2). Para intake vitamin C, E dan β-karoten lebih rendah pada perokok daripada bukan perokok pada 88,9% (24/27), 61,5% (8/13) dan 100% (15/15) dari studi, masing-masing (Gambar 2). Gambar. 1. Lihat versi yang lebih besar: Dalam jendela ini Download sebagai Slide PowerPoint Gambar. 1. Perbedaan standar (Z-score) energi, lemak (Fat), protein (Pro), karbohidrat (carb), alkohol (Alc) dan serat (fib) intake antara perokok dan bukan perokok. Setiap lingkaran mewakili Z-score dari studi individu. Positif Z-skor perbedaan menunjukkan perbedaan tinggi dan negatif mengindikasikan asupan dilaporkan lebih rendah pada perokok daripada bukan perokok. Gambar. 2. Lihat versi yang lebih besar: Dalam jendela ini Download sebagai Slide PowerPoint Gambar. 2. Perbedaan standar (Z-score) jenuh (SFA) dan polyunsaturated (PUFA) asam lemak, kolesterol (Chol), vitamin C (Vit C), vitamin E (Vit E) dan β-karoten (β-mobil) intake antara perokok dan non-perokok. Setiap lingkaran mewakili Z-score dari studi individu. Positif Z-skor perbedaan menunjukkan perbedaan tinggi dan negatif mengindikasikan asupan dilaporkan lebih rendah pada perokok daripada bukan perokok. Rerata Z-skor perbedaan adalah signifikan dan positif (P <10-5) untuk energi total, lemak, lemak jenuh, kolesterol dan alkohol, menunjukkan bahwa perokok menyatakan konsumsi secara signifikan lebih besar dari nutrisi ini dibandingkan bukan perokok (Tabel 2). Sebaliknya, rata-rata Z-skor perbedaan lemak tak jenuh ganda, serat, vitamin C, vitamin E, β-karoten, besi (P <10-5) dan kalsium (P = 0,0002) intake yang signifikan dan negatif, menunjukkan konsumsi lebih rendah nutrisi ini pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Akhirnya, rata-rata Z-skor perbedaan total protein dan karbohidrat tidak signifikan berbeda dari 0, menunjukkan bahwa perokok melaporkan asupan macronutrients ini mirip dengan yang bukan perokok. Lihat tabel ini: Dalam jendela ini Di jendela baru Tabel 2. Perbedaan tertimbang persentase asupan antara perokok dan bukan perokok. Jumlah sampel dan mata pelajaran yang digunakan dalam meta-analisis dan rata-rata Z-skor (interval kepercayaan 95%) dari berbagai asupan gizi Tertimbang perbedaan persentase total energi setara 4,9% antara perokok dan bukan perokok. Kenaikan ini dipertanggungjawabkan oleh perbedaan 3,5 dan 77,5% dari total asupan lemak dan alkohol, masing-masing, pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Konsumsi serat dan antioksidan vitamin itu rata-rata antara 10 dan 20% lebih rendah pada perokok daripada bukan perokok (Tabel 2). Tidak ada bukti heterogenitas antara studi untuk setiap variabel. Selain itu, untuk menghindari bias potensial yang berhubungan dengan sampel yang dipilih atau metode penilaian gizi, analisis diulang sub-sampel (termasuk wanita hamil dan remaja) dan asupan diukur dengan metode recall 24 jam. Analisis ini menghasilkan kualitatif hasil yang sama seperti untuk seluruh kelompok untuk masing-masing nutrisi. Akhirnya, analisis dilakukan secara terpisah pada pria dan wanita (termasuk ibu hamil) untuk energi, lemak, protein, karbohidrat, alkohol, serat dan vitamin C. rata-rata perbedaan Z-skor pada kedua jenis kelamin yang konsisten dengan orang-orang dari seluruh kelompok. (translate : Asloli Pratuesci)
 
Analisis Anemia dan Kehamilan-Terkait Ibu Mortality

    Bernard J. Brabin3,
    Mohammad Hakimi *, dan
    David Pelletier †

    Liverpool School of Tropical Medicine, Liverpool, Inggris dan University of Amsterdam, Emma Kinderziekenhuis, Academic Medical Centre, Amsterdam, Belanda;
    * Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, dan
    † Divisi Ilmu Gizi, Universitas Cornell, Ithaca, NY 14853

    
3Untuk siapa korespondensi dan cetak ulang permintaan harus ditangani. E-mail: l.j.taylor @ liverpool.ac.uk.

 
Abstrak

Hubungan anemia sebagai faktor risiko untuk kematian ibu dianalisis dengan menggunakan studi cross-sectional, longitudinal dan kasus-kontrol karena percobaan acak yang tidak tersedia untuk analisis. Berikut ini enam metode estimasi risiko kematian diadopsi: 1) korelasi tingkat kematian ibu dengan prevalensi anemia ibu berasal dari statistik nasional, 2) proporsi kematian ibu disebabkan anemia, 3) proporsi wanita anemia yang meninggal; 4) populasi berisiko-disebabkan kematian ibu akibat anemia, 5) remaja sebagai faktor risiko untuk kematian anemia terkait, dan 6) penyebab anemia yang berhubungan dengan kematian ibu. Perkiraan rata-rata untuk semua penyebab anemia disebabkan kematian (baik langsung dan tidak langsung) adalah 6.37, 7.26 dan 3,0% untuk Afrika, Asia dan Amerika Latin, masing-masing. Angka kasus kematian, terutama untuk studi rumah sakit, bervariasi dari <1% sampai> 50%. Risiko relatif kematian terkait dengan anemia sedang (hemoglobin 40-80 g / L) adalah 1,35 [95% confidence interval (CI): 0,92-2,00] dan anemia berat (<47 g / L) adalah 3,51 (95% CI : 2,05-6,00). Estimasi populasi berisiko-disebabkan dapat dipertahankan atas dasar hubungan yang kuat antara anemia berat dan kematian ibu tetapi tidak untuk anemia ringan atau sedang. Di daerah malaria holoendemic dengan prevalensi anemia berat 5% (hemoglobin <70 g / L), diperkirakan bahwa pada primigravida, akan ada kematian anemia terkait 9 parah-malaria dan 41 nonmalarial kematian anemia terkait (kebanyakan gizi) per 100.000 kelahiran hidup. Komponen kekurangan zat besi ini tidak diketahui.

    kehamilan
    anemia
    mortalitas
    malaria
    defisiensi besi

Kematian ibu terus menjadi masalah kesehatan utama di negara berkembang. Hampir 600.000 perempuan meninggal setiap tahun akibat komplikasi kehamilan dan persalinan, sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan sumber daya dicapai dan keterampilan (WHO 1996). Rasio kematian ibu di seluruh dunia (jumlah tahunan kematian perempuan dari penyebab yang berhubungan dengan kehamilan per 100.000 kelahiran hidup) diperkirakan 390 per 100,00 kelahiran hidup (Abousahr dan Royston 1991). Sebagian besar terjadi di negara berkembang, di mana wanita memiliki risiko kematian pada kehamilan dan persalinan yang 50-100 kali lebih besar daripada wanita di negara maju (Starrs 1987). Di negara berkembang, harga setinggi 700 per 100.000 kelahiran hidup di banyak bagian Afrika dan di beberapa negara di Asia selatan. Perbedaan besar dalam risiko terkait terutama untuk perbedaan dalam perawatan kebidanan yang tersedia bagi perempuan yang tinggal di daerah dengan antenatal yang tidak memadai dan fasilitas perawatan pengiriman. Harrison (1989) telah memperjuangkan argumen untuk mengembangkan peningkatan perawatan kehamilan untuk mengurangi kematian ibu di negara-negara berkembang. Dalam laporan dari Nigeria, ia telah menyoroti pentingnya anemia ibu sebagai faktor penyumbang kematian ibu (Harrison 1975, Harrison dan Rossiter 1985). Pada tahun 1987, badan-badan internasional dan para pemimpin dari 45 negara mendirikan prakarsa Safe Motherhood dengan tujuan mengurangi separuh kematian ibu pada tahun 2000 (World Bank 1993). Sebuah komponen kunci dari Safe Motherhood adalah pemberantasan anemia selama kehamilan. WHO telah menghasilkan perkiraan beban global kematian disebabkan anemia (segala bentuk) pada wanita usia reproduksi (Murray dan Lopez 1994). Ini diringkas dalam Tabel 1. Total perkiraan adalah minimal 16.800 dan maksimal 28.000 per tahun ~ dengan risiko kematian yang berhubungan dengan anemia pada wanita muda.
Lihat tabel ini:

 Hubungan anemia sebagai faktor risiko untuk kematian pada umumnya berasal dari studi cross-sectional dan dapat bingung karena beberapa alasan. Kebanyakan penelitian melaporkan data rumah sakit, sering untuk wanita yang hampir mati, dan ada perhatian terbatas pada faktor-faktor seperti kehamilan hemodilusi, peningkatan hemoglobin pada akhir kehamilan, infeksi bersamaan, perdarahan, pengobatan sebelumnya atau status gizi buruk ibu. Pada wanita muda yang tinggal dalam kondisi endemis malaria, terutama di daerah perkotaan di mana orang dewasa mungkin memiliki kekebalan malaria buruk, anemia malaria berat dan malaria serebral dapat terjadi dan cepat dapat menyebabkan kematian (Granje et al. 1998). Untuk alasan ini, kebanyakan studi membentuk dasar memadai untuk menentukan bagaimana anemia berhubungan kausal bagi kelangsungan hidup ibu di masyarakat, dan ekstrapolasi dari data rumah sakit pengiriman harus dianggap sebagai pendekatan yang mungkin menyesatkan.

Studi intervensi dengan kematian ibu sebagai ukuran hasil yang diperlukan untuk menentukan kausalitas, tetapi ini sangat sulit untuk melakukan untuk alasan etis dan logistik. Misalnya, ada sangat sedikit penelitian yang tidak menggunakan transfusi sebagai prosedur darurat pada wanita anemia parah pada jangka (Fullerton dan Turner 1962). Jika transfusi diperhitungkan, maka nyaris kematian bisa menjadi suatu hasil alternatif diukur, tetapi risiko yang benar dalam kasus tersebut masih belum jelas. Dalam pandangan dari kesulitan ini, sejumlah pendekatan alternatif yang independen menilai risiko ini harus ditempuh. Konsistensi antara analisis anemia berat dan kelangsungan hidup miskin akan menambah kepercayaan terhadap kekuatan hubungan kausal. Beberapa isu yang berkaitan dengan memperkirakan risiko yang timbul untuk penyebab spesifik dari anemia dan dalam mengukur risiko bagi perempuan cukup anemia karena anemia kurang masih dapat menyebabkan kematian akibat penyebab lain. Informasi tersebut akan sangat membantu untuk keputusan intervensi.

Penelitian yang diterbitkan pada hubungan antara anemia (ditentukan oleh keparahan) dan kematian ibu yang diidentifikasi menggunakan Medline, referensi dalam makalah yang diterbitkan, masalah Ulasan Cochrane dan komunikasi pribadi. Data tidak dipublikasikan dari Nigeria tersedia dalam laporan rumah sakit rinci oleh Lawson dan Lister dianalisis kembali dan termasuk dalam ringkasan terpisah data Nigeria. Studi yang termasuk kematian postnatal hingga 40 d dimasukkan, walaupun dalam prakteknya beberapa studi melaporkan data tindak lanjut atas pengiriman.
Pemilihan studi untuk dimasukkan dalam analisis.

Studi termasuk dalam kajian terbatas pada studi cross-sectional, longitudinal dan kasus-kontrol karena tidak ada uji coba terkontrol secara acak yang tersedia untuk analisis. Perhatian diberikan pada penilaian kemungkinan bias dalam studi validitas campuran. Studi diidentifikasi ditinjau berkaitan dengan faktor-faktor berikut: usia ibu, paritas, tingkat keparahan anemia, presentasi klinis, usia kehamilan, penggunaan transfusi darah, panjang tindak lanjut, diagnosis penyebab penyakit, estimasi laboratorium hemoglobin (Hb) 4 atau hematokrit, dan metode analisis. Hematokrit dikonversi menjadi nilai Hb dengan membagi dengan 3 dan mengalikannya dengan 10. Studi bahwa anemia terdaftar sebagai penyebab langsung kematian adalah nilai tertentu, yang memungkinkan perkiraan jumlah kematian ibu disebabkan anemia. Data dari kompilasi WHO kematian ibu telah diperiksa dan dikelompokkan menurut sumber (rumah sakit atau masyarakat), penyebab langsung maupun tidak langsung anemia, wilayah dan jumlah studi yang tersedia. Nilai titik tengah Hemoglobin dihitung ketika kisaran yang tersedia. Untuk penelitian lain, anemia poin cut-off digunakan di bawah ini yang proporsional kelompok wanita dengan anemia didefinisikan.
Analisis.

Definisi kematian ibu yang digunakan dalam kajian ini didasarkan pada revisi ke-10 International Classification of Diseases, yang mendefinisikan kematian ibu sebagai kematian seorang wanita saat hamil atau dalam 42 d pengakhiran kehamilan, terlepas dari durasi dan situs kehamilan, karena penyebab yang berkaitan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan dari kecelakaan atau penyebab insidental (WHO 1992a).

Kematian ibu juga dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: 1) langsung kematian obstetrik, akibat komplikasi obstetri negara hamil (kehamilan, persalinan dan masa nifas), intervensi, kelalaian atau pengobatan yang salah, atau rantai peristiwa yang dihasilkan dari salah satu di atas, dan 2) tidak langsung kematian obstetrik, akibat penyakit yang sudah ada sebelumnya atau penyakit yang berkembang selama kehamilan dan bukan karena langsung obstetrik penyebab tetapi diperburuk oleh efek fisiologis dari kehamilan.

Untuk setiap studi yang dipilih, perkiraan risiko relatif dan interval kepercayaan 95% tersebut dihitung dengan menggunakan metode yang ditetapkan. Ini digunakan dengan perkiraan prevalensi untuk mendapatkan risiko populasi disebabkan (PAR) dari kematian ibu anemia terkait. Beberapa studi kasus kematian tidak dapat digunakan dalam analisis risiko karena mereka tidak menyajikan data kematian untuk mata pelajaran kurang anemia pada populasi penelitian mereka. Rumus untuk PAR adalah sebagai berikut: Formula mana Sebelumnya adalah prevalensi anemia dari keparahan tertentu dan RR adalah rasio kematian pada anemia terhadap kematian dalam waktu kurang anemia (kelompok rujukan).
Metode estimasi.

Berikut ini enam metode estimasi diadopsi: 1) Korelasi tingkat kematian ibu dengan prevalensi anemia ibu berasal dari statistik nasional dalam kompilasi WHO tentang anemia di dunia. 2) Proporsi kematian ibu disebabkan anemia. 3) Proporsi wanita anemia yang meninggal (yaitu, perkiraan kematian kasus) dan bagaimana risiko ini bervariasi dengan tingkat keparahan anemia. 4) PAR kematian ibu akibat anemia. 5) Masa remaja sebagai faktor risiko untuk kematian terkait anemia. 6) Penyebab anemia yang berhubungan dengan kematian ibu.
Definisi.

Anemia ringan didefinisikan sebagai Hb <110 g / L, anemia sedang sebagai <70 g / L dan anemia parah <50 g / L. 110 g / L nilai cut-off didasarkan pada konvensi internasional, sedangkan dua nilai lainnya cut-off yang umum digunakan dalam literatur. 50 g / L nilai cut-off terkait sebagian konsekuensi fungsional yang berhubungan dengan dekompensasi jantung.
Bagian SectionNext Sebelumnya
HASIL
Angka kematian ibu dan prevalensi anemia.

Sebuah kompilasi rinci prevalensi anemia pada perempuan yang diterbitkan oleh WHO meliputi perkiraan kematian ibu akibat anemia selama sembilan negara (WHO 1992b). Perkiraan ini berkisar dari 27 per 100.000 kelahiran hidup di India untuk 194 per 100.000 kelahiran hidup dalam sebuah studi berbasis rumah sakit di Pakistan untuk 42 dari 44 kematian ibu di kamp-kamp pengungsi Somalia. Cut-off nilai untuk mendefinisikan anemia bervariasi untuk studi ini seperti halnya prevalensi anemia pada masyarakat di mana perempuan ini hidup (WHO 1992b). WHO tabulasi mengadopsi definisi internasional untuk anemia bagi ibu hamil dari <110 g / L. Persentase di bawah nilai ini mengidentifikasi populasi anemia, meskipun tidak ada nilai tunggal akan memisahkan semua anemia dari semua wanita nonanemic. Apa hubungan antara perkiraan prevalensi populasi semua penyebab anemia dan rasio kematian ibu, dan bagaimana hal ini berbeda antara daerah dengan angka kematian ibu tinggi dan rendah?

Grafik yang ditampilkan pada Gambar 1 menggunakan data tentang prevalensi anemia dari WHO tabulasi informasi yang tersedia di anemia gizi pada wanita (WHO 1992b), dan rasio kematian ibu dilaporkan oleh Dana Anak-anak PBB (1999) untuk tahun 1990-1997. Nilai prevalensi anemia untuk masing-masing negara yang dipilih dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: data nasional jika tersedia, ketinggian <2000 m, bukan pengungsi, survei selesai setelah 1980, terbesar yang tersedia ukuran sampel dan aktual (tidak diperkirakan) prevalensi tersedia (Tabel 2) . Anemia mengacu pada nilai-nilai Hb <110 g / L. Korelasi antara kedua variabel sangat signifikan (koefisien korelasi Pearson 0,561, P <0,001). Untuk evaluasi goodness of fit selama tiga model, yaitu, linier, kuadrat dan eksponensial, koefisien determinasi adalah 0.315, 0,424 dan 0,411 dengan nilai F-19.3, 15., Dan 29,3, masing-masing, menunjukkan bahwa eksponensial (logaritmik) model sesuai dengan data dengan baik.

Rasio kematian ibu (AKI) dan prevalensi anemia ibu

Sangat hati-hati diperlukan dalam menafsirkan asosiasi yang ditunjukkan pada Gambar 1 karena pembaur dan berkorelasi yang didasarkan pada informasi tingkat negara belum tentu mencerminkan hubungan pada tingkat individu. Ada kemungkinan kuat bahwa asosiasi mungkin didorong oleh sejumlah besar titik data dalam satu kuadran scatterplot dari satu daerah (sub-Sahara Afrika) yang memiliki tingkat tinggi kematian ibu, anemia dan malaria, perawatan kebidanan miskin dan lainnya pembaur. Namun asosiasi ini kepentingan; belum dijelaskan sebelumnya dan dapat memberikan wawasan pada tingkat nasional untuk program yang dirancang untuk mengurangi kematian ibu.

Nilai-nilai prevalensi terkait dengan semua penyebab anemia dan tidak ada kesimpulan dapat disimpulkan dalam kaitannya dengan anemia kekurangan zat besi. Kompilasi WHO secara terpisah daftar sejumlah kecil studi yang melaporkan konsentrasi serum besi dan memberikan nilai di bawah norma (<9 umol / L). Menerapkan kriteria yang sama untuk seleksi untuk survei anemia, 17 studi yang tersedia untuk analisis bersama dengan rasio kematian ibu. Sebuah korelasi positif diamati bahwa tidak signifikan (Pearson korelasi 0.415, P> 0,098).

Beberapa studi masyarakat yang tersedia yang laporan prevalensi anemia pada wanita dan angka kematian ibu untuk sampel besar dari kelompok yang sama dari perempuan. Sebuah studi prospektif masyarakat pedesaan di Malawi, di daerah malaria, diperkirakan angka kematian ibu sebagai 398 (per 100.000 kelahiran hidup) dan menemukan prevalensi anemia (hematokrit <0,25) pada kehamilan sebesar 6,2% untuk kohort yang sama (McDermott et al. 1996).
Proporsi kematian ibu disebabkan anemia.

Sebuah kompilasi rinci laporan tentang penyebab kematian ibu disebabkan anemia diterbitkan oleh WHO (1991). Ini daftar 62 laporan dari 33 negara yang proporsi disediakan untuk kematian ibu disebabkan anemia. Anemia terdaftar sebagai penyebab langsung kematian pada 26% dari laporan ini dan sebagai penyebab tidak langsung dalam sisanya. Definisi anemia bervariasi secara substansial antara studi dan banyak yang didasarkan pada penilaian klinis saja, sebagian besar (88,5%) yang berbasis rumah sakit, dengan proporsi yang tinggi dari pengiriman rumit.

Anemia diberikan sebagai penyebab langsung antara 1 dan 46% (rata-rata 10,0%) kematian ibu di 23 studi. Banyak laporan tidak termasuk anemia sebagai penyebab kematian, sebagian besar berasal dari Amerika Latin, tetapi 52 studi berasal dari Afrika dan 45 dari Asia. Penelitian ada daftar anemia baik sebagai penyebab langsung untuk kasus yang parah dan penyebab tidak langsung bagi orang lain, menunjukkan bahwa kriteria atribusi tergantung pada persepsi dokter kandungan tentang kepentingan relatif dari anemia, dengan anemia daftar banyak hanya sebagai penyebab tidak langsung. Ada sedikit dokumentasi untuk kriteria yang digunakan dalam penilaian klinis.

Perkiraan rata-rata untuk semua penyebab kematian anemia-timbul (yaitu, baik langsung maupun tidak langsung) dari laporan ini adalah 6.37, 7.26 dan 3,00% untuk Afrika, Asia, dan Amerika Latin, masing-masing. Perkiraan ini daerah rata-rata variasi antara negara-negara. Mereka cukup baik sesuai dengan tiga studi berbasis masyarakat dari Afrika (rata-rata 7,3%) dan empat studi berbasis masyarakat dari Asia (rata-rata 9,4%) (WHO 1991). Crude rasio kematian ibu akibat anemia dapat dihitung dengan menggunakan nilai-nilai dan perkiraan regional untuk rasio kematian ibu. Perkiraan ini diberikan dalam Tabel 3, yang menunjukkan angka kematian ibu dari semua penyebab anemia dan seumur hilang dari anemia ibu. Di Afrika, kematian ini lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan Amerika Latin. Dalam wilayah ini, kematian ibu dari anemia bervariasi antar negara. Sebagai contoh, dalam studi komunitas di Asia, nilai bervariasi (per 100.000 kelahiran hidup) dari 27 di India dan 54 di Bangladesh ke 194 di Pakistan dan di Afrika dari 35 di Senegal ke 82 di Kenya (WHO 1991).
Lihat tabel ini:

Kematian ibu dan hari hidup yang hilang karena anemia berat

Variasi dalam-negeri juga cukup besar. Dalam WHO (1991) global Factbook, hanya tiga negara di seluruh dunia tercatat tiga atau lebih studi memberikan nilai untuk kematian ibu disebabkan anemia. Ini adalah Nigeria, Tanzania dan India. Tabel 4shows ringkasan data untuk negara dan menggambarkan perkiraan luas konsisten kematian anemia-disebabkan antara studi di negara-negara yang dipilih. Ada sejumlah alasan untuk ini. Pertama, hanya dua dari India, salah satu Tanzania dan tidak ada penelitian Nigeria yang berbasis masyarakat. Kedua, perkiraan akan bervariasi sesuai dengan apakah kematian ibu mencerminkan perbedaan hasil antara besar rumah sakit rujukan tersier dan rumah sakit kabupaten yang lebih kecil. Ketiga, risiko kematian akan mengubah tergantung pada prevalensi hemoglobinopathies, malaria dan kekurangan gizi di antara populasi dalam suatu negara. Empat dari studi Nigeria, misalnya, selektif melaporkan kematian ibu terutama disebabkan oleh hemoglobinopathies.
Lihat tabel ini:

 Anemia sebagai penyebab death1 ibu
Proporsi wanita anemia yang meninggal.

Hubungan anemia dan berkorelasi yang terbaik dapat diperiksa pada individu. Onset akut anemia selama kehamilan akan meningkatkan risiko kematian karena hal ini dapat menyebabkan dekompensasi jantung yang cepat. Ketika konsentrasi Hb <80 g / L, mekanisme kompensasi gagal, asam laktat terakumulasi dan pasien menjadi sesak napas saat istirahat. Gagal jantung dapat terjadi ketika Hb <40 g / L, terutama dengan kehamilan kembar atau splenomegali (Fleming 1989b), dan ketika anemia bukanlah penyebab utama kematian, mungkin sering menjadi sebuah faktor penunjang. Perbedaan antara anemia sebagai faktor primer atau iuran kematian berhubungan dengan pola akut dan kronis onset. Anemia akut bisa menjadi penyebab primer dan cepat mati, (misalnya, di Nigeria) yang berkaitan dengan hemolisis akut penyakit sel sabit (Lawson 1962), sedangkan anemia kronis dianggap faktor penyebab sering, terutama konsekuensi dari perdarahan dan infeksi. Anemi defisiensi besi dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas dengan meningkatkan kerentanan ibu terhadap infeksi (Brock 1999). Karena ada dokumentasi yang baik bahwa wanita hamil lebih rentan terhadap beberapa infeksi (Brabin 1985), keterangan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan bagaimana meningkatkan kerentanan terhadap injeksi berhubungan dengan anemia gizi. Risiko infeksi yang meningkat dapat menyediakan mekanisme biologis yang masuk akal untuk peningkatan risiko kematian pada wanita cukup anemia.

Bagaimana pengaruh akut dan kronis pada risiko kematian pada wanita anemia dibedakan, dan apakah ada efek ambang untuk keparahan anemia di mana kematian ibu sangat meningkatkan? Tabel 5, dan 6 merangkum data yang tersedia pada kasus kematian dalam kaitannya dengan kehamilan hematokrit atau Hb nilai. Hampir semua studi ini adalah rumah sakit perempuan berbasis dan melaporkan sekarat terutama dalam periode perinatal. Beberapa tidak memberikan informasi tentang pengecualian atau durasi postpartum tindak lanjut. Proporsi wanita yang diobati dengan transfusi tidak jelas kecuali untuk lima penelitian (Cheng-Chi et al. 1981, Fullerton dan Turner 1962, Harrison 1975, Harrison dan Rossiter 1985, Isah et al. 1985). Perbedaan dalam perawatan kebidanan yang tersedia dan transfusi darah sangat mempengaruhi risiko kematian pada wanita anemia parah, dan kesenjangan antara temuan untuk masing-masing negara terutama dapat mencerminkan perbedaan-perbedaan ini. Dalam konteks ini, itu adalah nilai bahwa ada tujuh studi untuk perbandingan dari Nigeria saja, tiga di antaranya adalah laporan oleh Harrison dan rekan-rekannya (Harrison 1975, dan 1982, Harrison dan Rossiter 1985). Kasus kematian turun dengan transfusi 27,3-1,7% pada wanita dengan nilai hematokrit <0,14. Penelitian Nigeria sangat berharga karena mereka mengijinkan titik tengah diasumsikan dihitung untuk setiap kategori hematokrit, dan hasilnya merupakan temuan dari rumah sakit pendidikan yang besar yang merupakan pusat rujukan tersier di mana fasilitas perawatan kebidanan yang memadai harus tersedia. Juga pada saat ini telah dilakukan, ibu human immunodeficiency virus (HIV) tidak confounder. Sebuah laporan tunggal dari India dari fasilitas tersier juga menyajikan data yang memungkinkan titik tengah yang akan dihitung (Tabel 6) (Sarin 1995). Data yang tercantum dalam Tabel 6 untuk studi non-Nigeria sebagian besar tidak memungkinkan estimasi Hb titik tengah atau memberikan perkiraan kematian untuk anemia yang sangat parah (Hb <50 g / L).
Lihat tabel ini:

  
Kehamilan hemoglobin (Hb) dalam darah dan kasus kematian dalam studi non-Nigeria

Gambar 2 menunjukkan plot kasus kematian ibu terhadap kadar Hb untuk studi dari Tabel 5, dan 6 yang Hb titik tengah yang tersedia (Hb sama hematokrit dibagi 3 dan dikalikan dengan 100). Kasus kematian berkisar dari <1% sampai> 50% dan kematian meningkat dengan tingkat Hb yang sangat rendah (<30 g / L). Hasil ini didorong oleh empat poin data dari Ibadan, Nigeria, pada abad pertengahan, dengan tingkat Hb <25 g / L. Jika keempat poin dikecualikan, tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat Hb dan tingkat kematian kasus antara titik data yang tersisa. Untuk studi yang tercantum dalam Tabel 5, dan 6, beberapa detail yang disediakan pada etiologi anemia, kontribusi relatif penyakit akut atau kronis, kondisi, pengecualian, persentase transfusi dan aspek lain dari perawatan obstetrik hidup bersama. Faktor-faktor ini dapat membuat baik positif maupun negatif membingungkan. Tidak ada rincian tentang anemia defisiensi besi yang disediakan, meskipun Llewellyn-Jones (1965) menyatakan bahwa besi parenteral agresif adalah bentuk utama mereka terapi. Fullerton dan Turner (1962) di Nigeria menyebutkan pentingnya cacing tambang koinfeksi dan Wickramasuriya (1937) di Ceylon bertingkat kasus kematian oleh ada tidaknya infeksi cacing tambang dan menunjukkan risiko kematian yang lebih tinggi pada wanita yang terinfeksi yang mungkin memiliki anemia kekurangan zat besi kronis , [risiko relatif 2,1, 95% confidence interval (CI): 1,3-3,4]. Kebanyakan laporan berasal dari daerah malaria, dan malaria merupakan kontributor penting untuk anemia kehamilan, terutama pada primigravida (Brabin 1983). Namun, dalam sebuah penelitian terbaru di Malawi, risiko yang timbul anemia pada kehamilan lebih besar untuk defisiensi zat besi dibandingkan malaria (Verhoeff et al. 1999).

Kematian kasus dalam kaitannya dengan hemoglobin ibu (Hb, g / L).
Populasi berisiko-disebabkan kematian ibu akibat anemia.

Attributable risk bisa menjadi ringkasan statistik yang berguna untuk menggambarkan efek dari faktor risiko terhadap mortalitas pada tingkat populasi. Namun, anemia lebih parah, semakin besar kemungkinan untuk memiliki beberapa penyebab dan bukan akibat kekurangan zat besi atau gizi saja. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam membangun attributable risk, khususnya di populasi yang latar belakang epidemiologi penyakit dan paparan mungkin sangat berbeda. Masalah ini disampaikan oleh Pelletier dan rekannya (1993) dalam membahas bukti epidemiologi untuk efek potentiating malnutrisi pada kematian anak.

Kausalitas harus disimpulkan hanya dalam terang konsistensi bukti epidemiologi, dan dalam diskusi ini, istilah-istilah seperti PAR dimaksudkan untuk merujuk hanya untuk asosiasi statistik. Rush (2000) memperkirakan risiko relatif untuk mortalitas anemia disebabkan-ibu dan dibahas secara rinci keterbatasan beberapa studi yang dikutip dalam Tabel 5, dan 6. Berdasarkan bukti yang ada, ia menganggap hal itu sebagai asumsi kerja yang masuk akal bahwa angka kematian ibu sangat meningkat dengan anemia berat, dan kekuatan hubungan membuatnya layak untuk menganggap hubungan kausal dengan anemia berat, tetapi bahwa hubungan dengan anemia sedang kurang jelas.

Dengan cara menurunkan perkiraan yang paling diandalkan dari efek anemia sedang, risiko relatif dari lima studi yang memiliki data yang memadai dihitung menggunakan nilai referensi saja internal dan kategori saling eksklusif konsentrasi Hb. Perkiraan ini ditunjukkan pada Tabel 7, dan 8. Untuk moderat Hb kisaran (40-80 g / L), tidak ada konsistensi dalam perkiraan risiko relatif antara lima penelitian meskipun semua berasal dari satu negara (Nigeria). Tabel tersebut juga menyoroti ukuran sampel yang kecil untuk sebagian besar analisis ini, menunjukkan hati-hati dalam menarik kesimpulan dari nilai-nilai individu. Ketika data dari semua lima penelitian dikumpulkan, risiko relatif kematian terkait dengan anemia sedang diperkirakan 1,35 (95% CI: 0,92-2,00). Kurangnya hubungan yang signifikan muncul sebagian karena risiko kematian dalam kelompok rujukan tidak rendah dan tidak ada kelompok-kelompok ini nonanemic. Risiko relatif kematian ibu untuk anemia berat (<47 g / L) untuk lima studi yang sama secara signifikan meningkat pada 3,51 (95% CI: 2,05-6,00)
Risiko relatif kematian ibu untuk anemia berat menggunakan lima studi Nigeria dengan data yang memadai

Perkiraan PAR berasal dari data tersebut ditunjukkan pada Tabel 9. Nilai PAR sebesar 31% dilaporkan oleh Zucker et al. (1994) untuk kelompok perempuan dengan prevalensi 6% anemia berat (Hb <60 g / L) lebih tinggi dari perkiraan nilai untuk anemia parah pada prevalensi ini dari Tabel 9 (~ 13%). Sebuah estimasi terbaik dari kejadian aktual dari anemia berat di banyak negara berkembang cenderung ≤ 5%. Tertunda studi lebih lanjut, satu-satunya perkiraan PAR yang bisa dipertahankan akan didasarkan pada hubungan yang kuat antara anemia berat dan kematian ibu.
Lihat tabel ini:


Populasi risiko yang timbul dari kematian ibu untuk anemia ibu sedang dan berat
Masa remaja sebagai faktor risiko untuk kematian anemia terkait.

Lebih dari setengah dari populasi dunia adalah <25 y tua dan> 80% dari pemuda dunia tinggal di negara-negara berkembang. Pada pertengahan 1990-an, populasi remaja global diperkirakan mencapai 513 juta. Dalam kelompok ini remaja (10-19 y), WHO memperkirakan bahwa prevalensi anemia (Hb <110 g / L) adalah 16% di negara-negara berkembang tetapi 45% di Afrika (DeMaeyer dan Adiels-Tegman 1985). Risiko anemia tinggi primigravida remaja dalam mengembangkan (Arkutu 1979, Barr et al, 1998, Fazio-Tirrozo et al. 1998.) Dan negara-negara (Beard 1994, Osbourne et al. 1981) dikembangkan. Kematian ibu dalam studi masyarakat menggunakan otopsi verbal di Tanzania menunjukkan tidak ada hubungan dengan usia ibu (Macleod dan Rhode 1998). Para penulis tidak meneliti apakah kematian ibu terkait dengan anemia lebih sering terjadi pada remaja. Dalam sebuah studi berbasis rumah sakit besar di Northern Nigeria, angka kematian ibu lebih tinggi dari anemia berat (43%) dibandingkan di (<15 y) remaja, ibu hamil sangat muda tua remaja dan nonadolescent (<10%) (Harrison 1989). Lawson dan Lister (1954) dalam studi Nigeria awal 188 wanita cukup anemia (Hb <70 g / L) mengamati kasus kematian 1,89% pada kehamilan remaja dibandingkan dengan 8,89% pada wanita nonadolescent (χ2 = 2,9, P <0,1) . Hanya 3 dari 53 remaja yang <16 y tua.

Dalam sebuah studi awal dari Guyana dari pola kematian setelah pemberantasan malaria hiperendemik (Giglioli 1972), 100 kematian tercatat untuk wanita hamil di 1937-1966. Dari wanita, 24% adalah <20 y tua dan tak satupun adalah> 40 y tua. Ada penurunan ditandai dalam kejadian kematian tersebut dalam periode berturut pengendalian malaria ditingkatkan. Anemia yang berkaitan dengan infeksi cacing tambang diberikan sebagai penyebab utama dalam 4 dari kematian ini. Tidak ada informasi yang diberikan pada kejadian anemia malaria parah.

Ada kelangkaan data kematian remaja dan tingkat keparahan anemia di negara berkembang. Agaknya, timbulnya anemia gizi pada hasil usia dini pada anemia kronis yang mengabadikan setiap risiko kematian anemia terkait melalui kehamilan berikutnya. Pelayanan antenatal yang efektif dapat mengurangi risiko ini karena kunjungan perawatan antenatal lebih sering untuk remaja hamil di Malawi berkorelasi dengan penurunan yang signifikan dalam prevalensi anemia berat (Brabin et al. 1998).
Penyebab anemia yang berhubungan dengan kematian ibu.

Anemia pada kehamilan pada wanita di negara-negara berkembang adalah multifaktorial dalam etiologinya. Besi-dan folat-kekurangan anemia yang umum. Yang pertama berhubungan dengan kekurangan gizi dan infeksi cacing usus dan yang terakhir untuk asupan miskin dan negara hemolitik kronis. Anemia hemolitik, ke tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, umumnya terjadi selama kehamilan di daerah malaria dari negara-negara berkembang. Pengamatan bahwa anemia berat sangat berkurang pada pasien yang telah menerima profilaksis malaria secara teratur selama kehamilan (Fleming et al. Tahun 1986, Garner dan Brabin 1994, Shulman et al. 1999) menunjukkan bahwa hal itu berkaitan dengan infeksi kronis dengan Plasmodium falciparum malaria. Oleh karena itu tidak mengherankan untuk menemukan bahwa jumlah pasien yang dirawat dengan anemia berat tertinggi selama bulan-bulan setelah musim hujan (Fleming 1970, Verhoeff et al. 1999).

Hemolisis sebagai faktor dalam pengembangan megaloblastosis pada anemia defisiensi folat telah dibuktikan oleh Chanarin et al. (1959) dan infeksi P. falciparum merupakan penyebab penting di daerah malaria holoendemic (Fleming et al. 1986). Sekelompok lebih lanjut dari pasien yang berkontribusi terhadap anemia hemolitik parah adalah mereka dengan penyakit sel sabit. Kelompok ini menyumbang <10% dari semua kasus di Ibadan, Nigeria (Fullerton dan Watson-Williams 1962). Apa proporsi sisa anemia berat dapat dikaitkan baik malaria atau kekurangan zat besi atau keduanya?

Salah satu pendekatan untuk memperkirakan komponen anemia malaria disebabkan adalah untuk menghitung anemia ini kelebihan dalam primigravida dibandingkan dengan multigravidae dan atribut kelebihan ini untuk eksposur mereka lebih besar untuk malaria. Asumsi ini wajar karena di daerah transmisi tinggi, sejumlah besar studi telah mengkonfirmasi bahwa P. falciparum malaria dan anemia lebih sering pada primigravida (Brabin 1983). Gambar 3 menunjukkan risiko relatif untuk anemia pada kehamilan pertama dibandingkan dengan kemudian di Hb yang berbeda nilai cut-off dengan menggunakan data yang berasal dari studi di wilayah malaria di Afrika dan Papua Nugini. Angka ini berasal dari perkiraan sebelumnya untuk risiko kelebihan (Brabin dan Rogerson 2001) tetapi mencakup studi tambahan (Isah et al. Tahun 1985, Lawson dan Lister 1964) tidak diidentifikasi pada saat analisis sebelumnya. Goodness of fit menunjukkan hubungan yang sangat signifikan untuk model kuadrat (R2 = 0,996, P = 0,0041). Model ini menunjukkan bahwa, di daerah malaria, hanya ada kelebihan kecil anemia ringan di primigravida dibandingkan dengan multigravidae. Sebuah kelebihan yang lebih besar diamati dengan anemia sedang dan berat (Hb <80 g / L: risiko relatif, 1,55, 95% CI: 1,4-1,7; Hb <7: risiko relatif 1,86, 95% CI: 1,6-2,1). Nilai-nilai PAR anemia akibat malaria di primigravida berasal dari metode ini diberikan dalam Tabel 10, yang menunjukkan bahwa ~ 1 dalam 6 kasus anemia berat (Hb <70 g / L) dan 1 dari 25 kasus anemia ringan (<110 g / L) dapat dikaitkan dengan malaria di primigravida. Tabel 10 juga menunjukkan nilai PAR diturunkan menggunakan metode kedua berdasarkan ada tidaknya P. falciparum parasitemia. Ada kecocokan antara perhitungan PAR menggunakan dua metode yang berbeda. Ini konsisten dengan hasil dari uji coba terkontrol secara acak dari obat antimalaria di Kenya (Shulman et al. 1999).

Estimasi populasi berisiko-disebabkan (PAR) (%) karena anemia malaria pada primigravida menggunakan dua metode yang berbeda perhitungan

Jika 5-10% dari anemia berat (Hb <70 g / L) di primigravida diasumsikan karena penyakit sel sabit di sub-Sahara Afrika dan 18% akibat malaria (dari Tabel 10), maka sisanya 75% dari kasus akan timbul terutama untuk besi, folat, vitamin A dan vitamin B-12 kekurangan atau infeksi HIV. Dalam penelitian Nigeria diringkas dalam Tabel 5, HIV bukan faktor karena semua survei ini selesai sebelum 1962. Kekurangan gizi karenanya kontributor utama.

Penyebab kematian spesifik di primigravida terkait dengan keparahan anemia dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Formula Formula mana P adalah prevalensi anemia berat, dan parm (1-parm) adalah perkiraan PAR, masing-masing, untuk anemia berat dan malaria nonmalarial di primigravida, dan CFR adalah tingkat kematian kasus (diambil sebagai 1,0% dari Gambar. 2). Melalui penggunaan rumus ini, maka, di daerah malaria holoendemic dengan 5% prevalensi anemia berat (Hb <70 g / L), akan ada kematian anemia terkait malaria berat 9 per 100.000 kelahiran hidup untuk primigravida dan 41 anemia nonmalarial kematian terkait

Malaria dan faktor nonmalarial berkontribusi terhadap kematian anemia berat pada primigravida yang tinggal di malaria areas1

Semakin parah anemia, semakin besar kemungkinan itu adalah memiliki beberapa penyebab dan tidak berhubungan semata-mata untuk kekurangan zat besi. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam membangun attributable risk. Karena beberapa faktor yang berkontribusi terhadap prevalensi dan keparahan anemia, tidak dapat diasumsikan bahwa parameter epidemiologi berbeda memprediksi efek anemia pada kematian ibu. Ini adalah kesulitan dalam analisis yang bertujuan untuk mengidentifikasi komponen-komponen tertentu risiko yang timbul. Komponen nonmalarial tertentu (terutama gizi) risiko ini disebabkan dapat diperkirakan, tetapi proporsi anemia defisiensi besi ini terkait khusus untuk, sementara pasti, bisa sangat besar.

Karena anemia moderat yang umum dan kurang sangat terkait dengan malaria, anemia kekurangan gizi akan terdiri dari komponen yang lebih besar kematian disebabkan anemia-ibu. Hasil ini menyoroti kebutuhan untuk menentukan mekanisme yang anemia kekurangan gizi, kekurangan terutama zat besi, dapat meningkatkan angka kematian ibu. Kekurangan gizi dapat mengganggu respon kekebalan tubuh, dan pada wanita hamil, anemia defisiensi besi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian akibat penyakit sirkulasi (Elwood et al. 1974). Kekurangan zat besi cenderung menjadi penyebab penyumbang utama, meskipun kekurangan vitamin A juga bisa menjadi penting. Suplementasi rutin dengan vitamin A dalam percobaan besar di Nepal mengurangi angka kematian ibu, tetapi mekanisme yang buruk didefinisikan dan tidak jelas disebabkan pengurangan anemia (West et al. 1999). Kekurangan folat juga mungkin penting (Baily 1995). Infeksi HIV, yang umum di beberapa populasi hamil di Afrika dan dalam beberapa studi telah dikaitkan dengan tingkat Hb rendah, bisa meningkatkan efek dari defisit nutrisi pada risiko kematian.

Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai-nilai Hb tinggi (> 130 g / L) dikaitkan dengan sedikit peningkatan risiko kematian. Hasil ini diperoleh melalui masuknya data dari Harrison dan Rossiter (1985), yang menunjukkan peningkatan yang ditandai dalam risiko kematian pada wanita dengan hematocrits> 0,45. Penjelasan untuk ini tidak diketahui, tetapi dapat dikaitkan sebagian dehidrasi dan hemokonsentrasi dalam keadaan darurat. Kematian pada wanita Kaukasia hamil dengan hematocrits tinggi disebabkan kolesterol tinggi dan viskositas darah pada mata pelajaran tersebut, dan terkait sebagian untuk penyakit kardiovaskular (Elwood et al. 1974). Mekanisme serupa mungkin berlaku pada wanita dari negara-negara berkembang, namun hati-hati diperlukan dalam menafsirkan pengamatan ini karena hasilnya adalah dari studi tunggal.

Hampir tidak ada bukti bahwa pengobatan anemia selain dengan transfusi tukar (Fullerton dan Turner 1962) atau bijaksana penggunaan transfusi darah (Lawson dan Lister 1954), atau pengobatan anemia malaria akut berat (Gilles et al. 1969) menurunkan risiko kematian ibu. Sebuah uji coba intervensi terkendali akan menjadi pendekatan yang lebih kuat, tetapi ini akan membutuhkan ukuran sampel yang sangat besar dan mungkin tidak dapat diterima secara etika. Dengan demikian, metode tidak langsung analisis memiliki relevansi tertentu dalam menunjukkan kekuatan asosiasi anemia dengan kematian ibu. Ada beberapa keterbatasan pendekatan ini yang telah disebutkan sebelumnya, tidak sedikit bahwa metode pengukuran Hb bervariasi (metode termasuk Sahli, Talquist, hematokrit, hemacue, Coulter teknik counter dan penggunaan spektrofotometer optik). Namun, analisis ini telah mengidentifikasi sejumlah besar laporan dan kekuatan asosiasi statistik dapat diuji secara memadai.

Perkiraan PAR dapat dipertahankan atas dasar hubungan yang kuat antara anemia berat dan kematian ibu, tetapi tidak untuk anemia ringan atau sedang. Implikasi kebijakan ini adalah, pertama, bahwa beberapa penurunan angka kematian ibu harus dicapai di negara-negara berkembang melalui pengurangan anemia ibu parah, dengan efek terbesar akibat penurunan di kedua malaria dan anemia gizi. Kesimpulan ini kontras dengan situasi di negara-negara Barat, di mana tidak tinjauan historis maupun kajian literatur kebidanan mengidentifikasi kontribusi yang masuk akal dari faktor gizi terhadap penurunan angka kematian ibu (Ronsmans et al. 1999). Ukuran efek ini cenderung kecil kecuali ada prevalensi yang sangat tinggi anemia berat dalam populasi. Namun, bukti tidak cukup untuk atau terhadap pengobatan anemia defisiensi besi sebagai tindakan pencegahan untuk kematian ibu. Kedua, dengan antenatal yang baik dan kebidanan, kebanyakan kematian anemia terkait dapat dicegah, dan kebijakan untuk mengurangi prevalensi anemia tidak boleh dipisahkan dari upaya untuk memberikan antenatal yang memadai dan fasilitas pengiriman bagi perempuan di negara berkembang. Menempatkan ke dalam intervensi gizi operasi sebagai pendekatan pil ajaib akan harus bersaing dengan anggaran yang dialokasikan untuk perawatan obstetrik esensial. Akhirnya, kekurangan zat besi dan anemia malaria harus diperlakukan berbeda dari kategori lain risiko kesehatan ibu seperti tinggi, berat, usia, paritas, riwayat dan penggunaan pelayanan antenatal. Anemia kekurangan zat besi, seperti anemia malaria, sebenarnya komplikasi, kondisi medis yang memerlukan pengobatan. Penggunaan luas terminologi, yang bersama-sama kelompok kriteria terkait seperti, bisa merugikan strategi perawatan kesehatan yang efektif (Rhode 1995). 


(asloli pratuesci)